Rabu, 22 September 2010

Dunia Hanyalah Tempat Bermain dan Senda Gurau


Saya sebegitu tertarik dengan ayat Al-Quran yang redaksinya seperti ini: “dunia hanyalah tempat bermain dan senda gurau”. Awalnya, saya membaca catatan teman saya M.a.Maulim Ni’am di note account facebook-nya. Catatannya secara umum menggambarkan tentang ‘kebohongan’ yang merupakan tanggapan dari catatan temannya yang juga bertemakan tentang kebohongan. Bagian paling menarik yang sempat saya berikan perhatian adalah tentang kebohongan yang salah satunya dijabarkan dengan pernyataan bahwa kalau manusia selalu berwajah multidimensi, tergantung keadaan yang dihadapinya. Sebagai contoh, seorang ibu yang berprofesi sebagai guru akan memerankan peranan dengan wajah yang berbeda ketika berada di sekolah dan dirumah. Begitupun akan sangat berbeda ketika ia berada di tempat arisan atau atau berada di tempat ibadah. Berdasarkan kesimpulan saya, tulisan Ni’am mengatakan kalau berubah kondisi, maka topeng yang dipakai akan berbeda pula.

Tak lama setelah membaca note teman saya itu, tiba-tiba datang dua pesan singkat pada malam harinya dari teman yang berbeda. Entah mengapa secara kebetulan, pesan mereka bercerita tentang permainan dan senda gurau dengan kaitannya dengan hidup. Yang satu berpesan kalau hidup di dunia adalah senda gurau yang kekal adalah negeri akhirat, sedangkan pesan yang kedua bertutur bahwa jikalau hidup hanya bermain, maka kita boleh bermain sepanjang hidup kita. Jikalau hidup hanya sebatas senda gurau, maka kita boleh bercanda selama hidup kita. Tapi sayangnya hidup banyak warna, ada kalanya sedih dan susah. Kemudian pada akhir kalimat pesan kedua itu berbunyi “kemanakah kaki akan melangkah pulang?” karena kita hanya akan pergi kesatu negeri yang memiliki dua tempat tujuan; surga atau neraka.

Bermain

Kalau dunia adalah tempat bermain, berarti pemainnya itu sendiri adalah semua makhluk yang menghidupi bumi. Manusia sebagai pemimpin di bumi yang lebih dipercayakan oleh tuhan dibandingkan makhluk-makhluk lainnya adalah pemain paling handal. Kita cenderung bermain sesuai dengan penempatan peran yang semakin jelas seiring dengan perjalanan waktu usia manusia. Manusiapun sebagai pengendali dimana dunia dititipkan baginyaselalu bermain monolog dan lebih cenderung bermain dialog. Tapi porsinya asimetris, karena kecenderungan manusia memang yang tidak dapat hidup tanpa orang lain sehingga lebih menyukai dialog. Ketika berdialog dengan makhluk lain, maka seorang manusia yang berinteraksi dengan suatu entitas biasanya bermain adil, tetapi banyak pihak juga yang ingin mempermainkan lawan interaksinya. Ambilah contoh prinsip demokrasi yang sebenarnya lebih mengarah ke suatu fatamorgana, alih-alih sebagai sesuatu yang benar-benar bisa tercapai: from the people, by the people and for the people. Yang terjadi adalah sesungguhnya pengharapan akan target ‘keadilan’. Tetapi faktanya, dimana saja demokrasi berkembang, dalam dimensi apapun, selalu terjadi subordinasi demi mempermainkan pihak lain. Hal ini disebabkan karena memang kecenderungan orang kuat untuk mempermainkan entitas yang lemah, siapa kuat dia berkuasa. Kekuatan memang mempunyai seribu wajah. Kekuatan umumnya konflik dengan prinsip keadilan, seperti ungkapan ‘power tends to corrupt’. Akan selalu terjadi korupsi terhadap hak-hak orang/makhluk lain.

Bagaimanapun, permainan adil tetap saja bisa ditemukan, namun sulit. Pemenuhan keadilan akan dapat tercapai jika kedua belah pihak digenapkan hak-haknya. Sebagai contoh zakat mal. Telah disebutkan dalam ajaran agama Islam kalau sesungguhnya setiap jumlah harta yang telah ditentukan takarannya seharunya dizakatkan sebanyak 2,5 persen. Sehingga kaum papa, terlantar, termarginalkan sebenarnya bisa diperbaiki kualitas hidupnya , utamanya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Ajaran agama manapun sebenarnya juga banyak menekankan perhatian terhadap kepedulain sosial. Tapi tampaknya, Islam-lah memang yang paling strict dan memberikan aturan-aturan yang jelas dalam pengejawantahannya. Ini baru satu contoh. Wajah keadilan dalam permainan sebenarnya sangat beragam. Seperti keadilan untuk mendapatkan informasi tanpa distorsi karena pihak internal tertentu seperti korporasi, lembaga atau oknum ; keadilan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas; keadilan untuk berekspresi yang harus berada dalam kerangka sosial-keagamaan; keadilan ekonomi mikro dan masih banyak lagi. Seyogyanya indiskriminasi terhadap sesama pemain harus dijunjung tinggi. Sehingga kedua pelaku benar-benar menjadi pemain aktif, bukan salah satunya menjadi objek.

Kecenderungan monolog , seperti namanya hanya memiliki pemain tunggal. Pemainnya itu sendiri. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya tentang interpretasi Ni’am akan permainan, sesungguhnya multidimensionalisme seseorang adalah salah satu contohnya. Kita akan selalu mengenakan topeng yang berbeda-beda bergantung suasananya. Karena ketika seseorang tidak mengganti cover mereka, maka biasanya akan berujung kepada intoleransi. Tapi bukan berarti bahwa cover tidak substantif. Sesungguhnya tidak. Kemasan yang disesuaikan keadaan akan sangat mempengaruhi performa. Seorang yang berpakaian seragam polisi akan menjaga kewibawaan suara dan perilakunya. Ketika berada dirumah bersama istrinya, maka dia bertindak selayaknya suami yang bebas berkeluh kesah kepada istrinya. Tetapi ketika bertemu dengan teman korpsnya, maka dia menjadi sosok yang tangguh lagi, seolah-olah tak pernah memiliki beban. Ini namanya bukan hipokrasi, tapi ini namanya tuntutan. Switching yang terjadi secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama pun sesungguhnya akan membentuk karakter. Jadi sekali lagi, perubahan topeng itu tidak mendekati hipokrasi, tapi lebih kepada keperluan. Ketika seseorang memohon doa kepada tuhannya, sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk monolog.

Senda Gurau

Apa yang sesungguhnya diperoleh dari kelakar? Senda gurau? Jawabannya adalah penghiburan diri. Ketika hidup seorang manusia memang hanya berfokus pada dunia, maka sesungguhnya dia hanya akan memperoleh penghiburan diri. Tak pernahkah anda mendengar orang yang berkata “wah, perasaan dia dulu cuma sebesar ini, tapi sekarang dia sudah besar sekali”. Waktu hidup di dunia benar-benar terasa sekejap mata, selalu mempermainkan manusia. Belasan, puluhan tahun tak ubahnya serasa hari kemarin yang baru saja terjadi. Siapa yang mempermainkan siapa dalam hal ini? Tidak ada. Semuanya adalah karena hidup memang mengalir begitu saja dan semua kejadian yang terjadi sifatnya hanya sementara dan diterima dengan sense manusia yang juga sementara. Sudah menjadi ketentuan bahwa tidak ada yang abadi, termasuk juga sistem penerimaan kita terhadap penderitaan, kebahagiaan, kemiskinan & kekayaan. Karena kita telah dijanjikan kalau segala yang kekal itu urusannya ada di ukhrawi. Nikmatnya hubungan suami istri hanya sekejap saja. Tapi di akhirat manusia dijanjikan hubungan suami istri yang tidak ada istilah ‘lelah ’ di dalamnya. Yang ada di dunia hanyalah penghiburan diri. Yang ada di akhirat adalah kebahagiaan yang puncak.

Sebagai contoh kalau sistem penerimaan kita terhadap sesuatu sifatnya sementara bisa digambarkan dengan orang yang sangat excited sekali ketika mengetahui kalau dirinya akan pergi ke Big Apple, New York City. Perasaanya sungguh sangat menggebu-gebu sekali dan selalu membayangkan pengalaman apa nantinya yang ia akan rasakan sesampainya disana. Tetapi begitu orang tersebut tiba di sana, di NYC, kemudian dia berkata kepada dirinya sendiri “ok, ini NYC, kota yang modern, multikultur, ramai dan rapih, seperti yang saya biasa liat di media-media. Terus apa lagi?”. Cukup, mungkin itu kata yang paling bagus untuk mewakili. Memang biasanya kita selalu memberikan pilihan jika ditanya tentang tempat yang paling impresif yang pernah kita kunjungi. Itu disebabkan karena memang keadaan tempat yang kita pilih itu lebih baik daripada keadaan tempat-tempat yang lainnya. Tapi coba tebak, hanya itu saja. Ketika kita berada di tempat yang dimaksud, sistem penerimaan kita sama saja, “terus apa lagi?”. Hal ini berlaku pula pada popularitas. Setiap orang yang memang pada dasarnya suka diperhatikan oleh orang lain tidak semuanya bisa mencapai popularitas, dengan menjadi selebriti misalnya. Orang yang biasa-biasa saja tanpa popularitas selalu berpikir kalau orang yang populer itu sungguh benar-benar beruntung, di puja dan di puji. Tapi sesungguhnya popularitas hanya sebatas pada popularitas saja, tidak lebih. Banyak orang yang mengelu-elukan selebriti, terus kenapa? Terus apa lagi? Apalagi dampak yang paling banyak didapatkan selain uang? Ketika seseorang benar-benar populer sebenarnya ia juga akan berkata kepada dirinya, “terus apa lagi?”. Lelucon.

Bagaimana menempatkan kesedihan dalam senda gurau ini di dunia? Seperti semua hal yang tidak pernah kekal, maka kesedihan juga sifatnya tidak kekal. Manusia juga seringkali tersenyum dan banyak kali tertawa. Pasti terjadi perubahan, manusia akan melunturkan ingatan-ingatan di masa lalu entah cepat atau lambat. Dan yang terjadi adalah sedih-bahagia-sedih-datar-monoton-sedih-sedih-bahagia-bahagia-monoton-monoton-bahagia-bahagia, dan seterusnya tanpa pola yang pasti. Jika kita bisa melihatnya sebagai sesuatu kesatuan yang sesungguhnya telah ditetapkan jauh sebelum manusia lahir, maka kita pasti akan mendapatinya kalau sebenarnya semua itu hanyalah kelakar, sebuah senda gurau. Beda dengan hal yang sifatnya abadi. Karena sekali sedih, maka akan sedih selamanya. Sekali bahagia, akan bahagia selamanya.

Hidup di dunia tampaknya memang hanya tempat bermain dan senda gurau. Para pemainnya adalah kita dan yang bersenda gurau juga adalah kita. Sebaiknya setiap dari kita menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menuju ke tempat yang kekal, tidak bermain terus dan tidak berkelakar terus. Semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai permainan & lelucon belaka . Selamat menjadi orang serius dengan memperhatikan hal-hal yang akan membawa pada keabadian. 

QS Al An'aam (6) : 32
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka[468]. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.

*Terimakasih buat note M.a. Maulim Ni’am yang inspiratif, dan SMS dari M. Maknun & Sri Wahyuningrum yang membuatku bertanya dan menganalisa. Ini adalah tulisan yang tertunda.

memetolicious.blogspot.com
Makassar, 21 September 2010

Selasa, 10 Agustus 2010

Catatan puasa hari I 1431 H : Andaikan Kita Bisa Selalu Menghadirkannya di Keseharian Kita

Kemarin dulu saya dan beberapa anggota keluarga menyempatkan diri untuk ziarah ke makam om dari bapak saya. Seperti kebiasaan masyarakat kita pada umumnya, kalau akan memasuki bulan ramadhan maka mereka akan menyisihkan waktunya untuk menziarahi orang-orang dicintai yang telah berpulang terlebih dahulu.

Saya mengantar kakak saya dengan sepeda motor. Sewaktu disana, saya tidak melakukan apa-apa. Saya tak berdoa di depan makam karena tak tau doa apa yang harus saya baca, tidak melakukan siraman kubur atau bersepakat dengan kebiasaan menziarahi makam sebelum bulan puasa itu sendiri. Karena saya tidak (belum) tau hukumnya bagaimana. Karena ajaran agama kita mengatakan bahwa tidak ada amal perbuatan yang tidak berlandaskan ilmu. Dan saya tidak memiliki ilmu akan hal itu, maka saya tidak amalkan.

Bertepatan dengan waktu itu, corong masjid yang berada di dekat pekuburan itu mulai melantunkan ayat-ayat suci, hal yang biasa sebelum azan magrib dan azan sholat-sholat lainnya. Tapi entah mengapa tiba-tiba ada perasaan yang tak biasa yang memang kerap kali muncul. Perasaan takut kepada-Nya, mengingat Dia kembali.

“Apakah kamu tidak mengambil pelajaran dari orang-orang terdahulu?” saya tiba-tiba teringat dengan salah satu ayat dari Al-Quran itu. Sambil mondar-mandir diantara kuburan, saya sesekali juga menyelipkan lamunan diantaranya, dan ayat itupun terus bergaung di kepala saya. Mau bukti apalagi? Oceh pikiranku. Semua pasti akan binasa dan kembali ke Penciptanya- sebuah kata-kata yang kita telah sering dengar sedari kecil. Tapi cuma momen yang seperti itu baru kadang-kadang kita menyadari. Momen dimana kuburan harus berada persis di depan kita. Momen dimana kita melihat upacara pemakaman. Momen dimana kita mencium bau kapur barus mayit, lengkap dengan kain kafannya. Ditambah lagi, saat itu, lantunan ayat suci Al-Quran benar-benar mengambil perhatianku.

Kalau kita selalu menghadirkan perasaan itu, saya kira orang-orang yang akan maju untuk pemilu presiden, Kada, bupati, dst tidak akan terlalu banyak, bahkan mungkin tidak ada. Mungkin tindakan Satpol PP untuk menertibkan warung remang dan operasi Miras tidak akan pernah perlu. Infotaiment mungkin tak akan begitu laku dan tak akan ada yang mengidolakan Justin Beiber. Mau diapakan semua itu kalau perasaan takut, menghamba, dan menyadari kalau di dunia ini semua semu selalu hadir di dalam hati kita?

Perasaan yang sama juga acapkali kita temukan ketika berada di mesjid-mesjid. Tapi susahnya, kita tak sanggup menghadirkannya ketika berada di tempat kerja, di sekolah, di depan computer, dan di tempat-tempat yang lainnya. Saya pribadi selalu gagal dalam membunyikan kembali alaram ingatan itu. Yang saya pikirkan sejauh ini, mungkin untuk menghadirkan ingatan dan perasaan seperti itu membutuhkan latihan yang juga regular, harus dilatih.

Mengapa kita (manusia) tidak pernah belajar dari pengalaman? Seolah-olah yang hidup sekarang ini adalah satu-satunya kaum yang telah menciptakan peradaban, bermukim, berkompetisi dan satu-satunya kaum yang pernah mengumpulkan harta. Seolah-olah kaum sekarang yang sedang hidup adalah kaum yang terpelajar yang mempunyai kebijaksanaan yang puncak. Seolah-olah kitalah kaum yang hidup dengan menggunakan teknologi tercanggih. Padahal, setiap teknologi menjadi termutakhir berdasarkan zamannya.

Dari yang saya ambil sebagai kesimpulan sendiri, mengapa Al-quran menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya? Karena Al-Quran telah merekam semua ragam cerita kehidupan yang telah terjadi. Cerita kehidupan yang terjadi sesudahnya semuanya sudah diantisipasi dan ada pedomannya. Kita hanya perlu pandai-pandai mengambil pelajaran di dalamnya, kitab peringatan. Selayaknya kita sesekali melihat kembali apa yang kita bisa lihat dari orang-orang terdahulu.

Lihat? Semuanya dangkal bukan? Semua yang terjadi sekarang cuma merupakan modifikasi masa lalu. Berkembang tapi wilayahnya dangkal. Hal yang hakiki adalah: menunaikan tujuan hidup kita. Walaupun sangat sulit untuk melaksanakannya saya kira, karena kita harus melawan mainstream kalau begitu. 
Marhaban yaa ramadhan..

memetolicious.blogspot.com

Kamis, 10 Juni 2010

Daftar Keanehanku

Setelah berusia 23 tahun dan 2 bulan, maka ada beberapa hal yang bisa saya pelajari dari diriku. This is the list, here I go:

- Punya Obsessive Compulsive Disorder terhadap benda-benda yang disentuh. Kalau tangan kiri menyentuh, tangan kanan juga harus menyentuhnya. Paling compulsive ma yang namanya besi dan sebagainya.
Bintang: 4 stars

- Obsessive compulsive disorder sama aroma kertas. Kalau baca buku pasti kerjanya cium-cium aroma itu buku secara vertikal, dari atas kebawah terus dilanjut lagi dari bawah keatas terus dari atas kebawah lagi (harus cukup tiga kali)..gosh… kemudian buku itu saya bagi sepertiganya tuk di-aroma-i. Awal, pertengahan dan akhir-akhir (juga 3 kali)….@_@
Bintang : 5 stars

- Tak tahu jalan. Dari kecil tinggal di Perumnas., tapi ditanya jalan-jalan di sekitarnya sama sekali ndak tau. Pernah mau ke Alaska di bulan Ramadhan ma teman 3 motor. Alaska letaknya di Pengayoman, saya perginya ke Boelavard. Junior di kampus, dibelakangku yang juga ikut, bertanya-tanya. Sampai pada saat pengakuan dosa kalau saya lupa jalannya, barulah dia bilang “ pantasan, saya heran, kan kita tadi seharusnya belok kiri, ndk terus”. Andaikan dari awal dia bilang tanpa khawatir dengan PDI (Power Distance Index), saya pasti tiba lebih awal dan tidak telat buka puasa T_T…
Bintang : 3,5 stars

- Kalau baca buku, terus sampai pada kalimat yang inspirasional atau cerdas atau keren atau completely new atau surprising, maka pasti saya kemudian meliat biografi pengarangnya sambil menatap gambar pengarangnya lekat-lekat. Setelah itu lanjut baca lagi. Kalo dapat lagi, pasti liat gambar pengarangnya lagi. (whattan useless reaction)
Bintang: 3 stars

- Memastikan jamnya tepat sebelum bangun. Biasanya setelah solat subuh saya tidur lagi (don’t try this @ home coz kata temanku, sel darah putih akan memakan sel darah merah). Kalau bangun pasti harus memastikan apakah itu jam 7 pas atau jam 7 lewat setengah. Begitu seterusnya. Bisa 8, 8.30 atau bahkan di hari minggu bisa bangun sampe jam 9, 9.30 (jangan ditiru ya nak).
Bintang: 5 stars

Sekian dulu daftarnya ya. Kalo saya dapat ilham lagi, saya akan berbagi *bangga dengan keanehannya*

Selasa, 11 Mei 2010

Masih Mencari Arti Kata ini: Kebahagiaan


Saat selesai solat di Musholla Graha Pena, seorang bapak yang baru saja mengambil air wudhu berujar kepada temannya dengan temannya "itulah konsekuensi hidup pak, bekerja dan beribadah".

Sampai di lift yang membawa saya di lantai tempat saya bekerja, saya masih terus berpikir tentang ucapan bapak tadi. Yang pertama yang saya pikirkan adalah satu: urutan pelafalan kalimatnya, bekerja kemudian disusul dengan beribadah. Dua: arti kata konsekuensi.

Rasanya tidak adil menilai prioritas dari ucapan yang spontan. Tapi saya pribadi percaya kalau alam bawah sadar, sebuah built in computer di otak kita tidak pernah tidak benar ketika mengeksekusi sesuatu. Ucapan yang spontan atau ekspresi bisa dikatakan lebih jujur dalam mencerminkan kepribadian seseorang. Premis saya untuk sementara adalah: pekerjaan kini menjadi prioritas paling pertama dalam hidup bagi mereka yang telah memiliki keluarga atau bagi yang telah menamatkan sekolahnya. Karena tidak ada pekerjaan berarti tidak ada uang. Tidak ada uang berarti tidak bisa hidup. Hampir semua berbicara tentang kalkulasi, hampir semua berbicara tentang nominal.

Saya kemudian melakukan refleksi. Jawaban yang muncul tiba-tiba adalah,” ya”, saya juga manusia yang hanya berbicara tentang nominal. Alasan yang mendasar adalah, saya (kita) tidak dapat bahagia tanpa uang, karena tanpa uang akan mustahil memperoleh kebahagiaan (sambil berpikir kalau saya tidak boleh menjadi seorang yang naïf). Saya rasa itu benar, saya sendiri berdamai dengan diri saya akan hal itu. Tapi yang jadi masalah adalah saya tidak memberi limit. Setelah mendapatkan uang 100 perak, saya maunya 500 perak. Setelah 500 perak, saya maunya mendapatkan 1500 perak, begitu seterusnya tanpa henti. Seperti vicious circle. Saya dan anda selalu bekerja dan untuk sementara merasa berada di zona nyaman dengan upah yang diperoleh. Tetapi setelah berjalan selang waktu, diri kemudian merasa tidak cukup lagi. Solusi yang umum adalah mencari pekerjaan lain, atau tetap di pekerjaan itu dengan berusaha meningkatkan upah sebanyak mungkin.

Tiap pribadi mempunyai target masing-masing, dan kadang-kadang target itu menjadi standar kebahagiaan kita. Pertanyaannya adalah: haruskah kita memandang dunia ini secara sempit dan bergaul dengan sesedikit mungkin orang atau sebaliknya. Karena seseorang yang banyak melihat orang lain dan memandang dunia secara luas kadang-kadang menaikkan standar hidupnya dan tidak nyaman dengan zona dirinya yang sekarang. Akibat logisnya adalah menaikkan standar diri untuk hasil yang lebih tinggi atau menetapkan standar diri yang sama tetapi melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Bagi pribadi yang memiliki dunia yang sempit dan bergaul dengan sedikit orang, umumnya merasa sudah “cukup”. Cukup yang diakibatkan oleh dua kemungkinan. Pertama, karena dia tidak melihat dunia yang terhampar begitu luas, kedua, karena dirinya memang telah memperoleh kebijaksanaan dalam melihat hidup.

Opsi yang kedua sebenarnya juga dapat diperoleh bagi seseorang yang melihat dunia secara luas, bahkan kadang-kadang kebijaksanaanya lebih hebat. Menyumbangkan sebagian besar harta untuk filantropi, hidup sederhana dan mensejahterakan orang lain, menjadi pribadi sederhana diantara kalangan para sosialita, bahkan sampai memfokuskan hampir semua dirinya untuk urusan agama. Kalau begitu, kunci untuk memperoleh kebahagiaan bukan terletak pada uang ternyata. Kalau kita telah menetapkan limit sedemikian rupa dengan berusaha berlandaskan dengan ketimpangan sosial yang ada, kemudian bisa menciptakan kebahagian murni dari dalam diri tanpa terpengaruh dengan tendensi-tendensi materi, maka kebahagiaan adalah benar-benar menjadi milik kita. Mudah memang mengatakannya. Tapi saya rasa itulah tugas kita disini. Memahami hidup untuk memperoleh kebahagiaan.

Premis kedua adalah: bekerja dan beribadah adalah merupakan konsekuensi. Ini masalah sudut pandang, tidak ada yang salah dan benar. Tetapi bagi seorang Islam, ibadah dan bekerja adalah kewajiban kita, bukan akibat dari eksistensi kita. Kalau kita berkata bahwa Tuhan maha sombong karena menyuruh kita menyembah padanya maka itu betul, karena jubah kesombongan hanyalah milik Dia. Tidak usah dipertanyakan mengapa kehadiran kita adalah untuk beribadah, hal yang sejalan dengan Tuhan yang tak pernah menghitung-hitung nikmatnya kepada hambanya. Lagipula kita sepakat kalau hidup manusia disertai dengan kesusahan-kesusahan. Tapi kesusahan itu pasti ada imbalannya. Kesusahan usaha kita di dunia untuk bekerja berbuah pada harta di dunia. Kesusahan untuk beribadah berimbas pada dunia dan hari yang kekal. Jadi mau pilih yang mana: dunia saja atau dunia dan hidup nanti yang kekal?

Fit of survival. Begitulah kurang lebih. Tapi jangan menggiring paham ini kepaham Darwinisme. Kita akan memperoleh imbalan dengan usaha-usaha yang pantas. Maka pantaskanlah diri kita. Kadang-kadang terlalu banyak mau dan bertanya dengan otak yang terbatas tidak memberikan kebahagiaan dan jawaban sama sekali.

Makassar May 12, 2010, saat langit siang masih cerah..

Jumat, 16 April 2010

Rahim Kita


lagu rindu buat kalian yang telah keluar dari rahim almamater biru
tali pusar kita kini telah diputus
kita tak lagi mengambil makan dari rahim, sudah lepas dari selaput
sekarang kita bergerak seperti siput

sekarang kita berada di rahim yang kejam ini
gen apa yang diwariskan kepadamu? apa tipe darahmu? bagaimana tulang-tulangmu berkembang?
saya mau tau

kau tau tidak, mungkin saya tidak tau tentang kamu
tapi saya tau, kau pasti sedang berjuang
dengan berada disini kau dituntut untuk melakukan banyak hal bukan?

ini kabarku: saya sudah mulai belajar merangkak
tapi masih terseok-seok
kabarmu bagaimana?
adakah engkau berkembang sesuai dengan pendidikanmu selama ini
ketika engkau masih di rahim?

saya akan tunggu kabarmu ketika sudah mulai dewasa
lalu kita akan bersapa lagi
mungkin di rahim kita dulu
atau dirahim kita sekarang
tapi jangan sampai di tabung inkubator

Makassar,2010

Jumat, 19 Maret 2010

Seperti Para Koruptor

Seperti Para Koruptor (part I)

ini bukan ramalan
tapi tahukah kamu, kalau kau mengambil uang 500 perak
dan itu bukan punyamu
kau akan dapat dosa

Seperti Para Koruptor (part II)

ayo sini
mereka saling diskusi
tak maukah kau mendengarkan percakapan mereka?
nanti teleponmu disadap lho
kau tak takut?
kau tak berpikir untuk saling suap-menyuap?
atau suap-suapan?

Seperti Para Koruptor (part III)

bunga itu layu
digedung yang kotak-kotak itu
selayu militansi mereka
sesayup mata penikmat tidur

Seperti Para Koruptor (part IV)

dasar bodoh
peduli apa saya?
istriku minta ke mall
anak saya mau permainan baru?
peduli apa saya bunga layu itu

Rabu, 17 Maret 2010

Jangan Menganggap Masalahmu Terlalu Rumit dan Karena Hidup Bercerita Tentang Kehilangan

Siang ini, seperti biasa, solat duhur saya lewatkan di mesjid kampus. Setelah solat, sambil duduk memakai kembali kaos kaki dan sepatu untuk segera beranjak,tiba-tiba saya berjumpa dengan teman-teman seangkatan yang masih berkutat dengan skripsi mereka. Kami langsung melakukan pembicaraan ringan. Saya sendiri cukup beruntung, karena telah menyelesaikan studi saya lebih awal beberapa bulan dibanding mereka.

Setelah bercerita, kemudian teman saya yang ikut bersama mereka tiba-tiba keluar dari mesjid dan berkata kalau tasnya hilang. Masyarakat kita, budaya yang masih primitif, homo homini lupus. Kelhilanagn barang, bahkan ditempat suci seperti mesjid. Sebenarnya, pengumuman berita kehilanagn itu telah saya dengar beberapa sebelumnya yang diumumkan melalui corong mesjid. Tapi saya sama sekali tak menduga kalau yang kehilangan itu adalah teman saya. Sejenak kami bercerita tentang kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasi semua masalah itu. Karena masalah yang sangat parah adalah, laptop dan skripsi yang baru saja di tanda tangani oleh dosen pembimbingnya, serta semua berkas-berkas administrasi yang sangat lama untuk diurus lenyap begitu saja. Belum lagi, soft file untuk skripsinya, semua ada di komputer pribadi miliknya itu.

Beberapa lama merasakan keintiman dengan musibah yang sprektumnya juga mempengaruhi kami, kemudian, teman saya yang kehilangan dengan elegannya berkata “itulah hidup, semua pasti akan hilang”.

Harus kuakui, kalau sekarang adalah salah satu masa-masa sulit yang sangat membebani bagiku. Sehabis kuliah, walaupun predikat kelulusan yang memuaskan, tidak lantas menjadi jaminan kalau masa depan akan cerah. Apatahlagi standar yang saya inginkan untuk pekerjaan cukup tinggi. Walaupun telah ditawari pekerjaan, tetapi sebenarnya ekspektasi saya tentang pekerjaan sangat tinggi. Banyak orang yang mengatakan kalau saya adalah orang yang beruntung. Tapi kenyatannya, kepala ini tidak pernah berhenti berpikir tentang pekerjaan yang lebih bagus. Pekerjaan yang kuidamkan dan tentunya bisa membahagiakan dan membanggakan orang tua. Salah satu bukti kalau keinginan dunia tidak akan pernah ada habisnya.

Bisa dikatakan kalau sekarang ini, kegamangan adalah nada-nada yang menghiasi hari-hariku belakangan ini. Tapi hari ini, saya dapat pencerahan lagi. Tuhan akan selalu memberikan pelajarannya, dengan satu atau banyak cara. Kata-kata yang diucapkan temanku adalah kata-kata bijak yang selalu kita dengar. Tetapi, acapkali, sistem mental kita terlalu berfokus pada diri kita yang menjadi pusat gravitasi. Berpusat pada permasalahan-permasalahan pribadi, semacam autis. Kondisi yang selalu menjadi momok, yaitu harus dapat kerja, menjadi stimuli yang semakin memperparah ketidakstabilan emosiku yang biasanya lebih banyak dipendam. Hal ini membawa efek yang cukup buruk bagi saya. Merasa seolah-olah, sayalah yang punya permasalahan yang paling tidak diinginkan sejauh ini.

Saya sangat bersyukur, karena musibah teman saya yang tidak terjadi pada saya. Salah satu fitrah manusia yang tentu saja ingin yang baik-baik pada dirinya. Tapi kita (manusia) juga diberikan hati untuk berempati terhadap sesama dan mengambil pelajaran darinya. Kejadian ini memberikan sesuatu yang pasti pada diri saya, bahwa masalah apapun yang kamu hadapi bukanlah berarti bahwa duniamu akan kiamat. Sungguh sangat banyak manusia dilingkungan sekitarmu dan percaya atau tidak, mereka bisa saja memiliki masalah yang jauh lebih tidak diharapkan lagi. Bahkan banyak orang pada detik yang sama, ketika kita mempunyai masalah, kewarasannya perlahan-lahan mulai hilang akibat beban yang katanya unbearable lagi. Jika paradigma kalau masalah kita cuma kecil saja jika dibandingkan dengan orang lain dan merupakan fase-fase yang wajar yang harus dijalani dalam hidup, maka yakinlah kalau masalahmu itu bisa dijalani dengan sewajarnya, sesuai dengan usaha-usaha yang ekuivalen.

Kehilangan adalah kata yang sesungguhnya membuat seseorang menjadi dewasa dalam hidup. Kehilangan orang yang dikasihi, harta, teman, sahabat hingga kehilangan musuh sekalipun. Akan sama barangkali kalau semakin dewasa seseorang, maka semakin bijak dia bertindak. Tapi sayangnya, banyak orang yang dikatakan dewasa tapi sungguh tidak bijak. Memang batasan untuk dikatakan dewasa atau bijak sangat absurd, bahkan mungkin saja mustahil untuk diberikan batasan. Tapi anehnya, pikiran dan hati kita kadang-kadang berkata hal yang sama tentang standar-standarnya. Sebagai contoh, ketika kita mengatakan tentang Lao Tse, maka kebanyakan dari kita mengatakan kalau dia memang seorang yang bijaksana. Walaupun kita sama sekali tidak tau “sesuatu” yang menyebabkan seseorang dikatakan bijaksana. Sampai disini, kita dapat berkesimpulan kalau tak semua yang ada dan memperoleh pengakuan harus dapat dijelaskan secara eksplisit.

Kehilangan adalah takdir yang tak dapat dihindari. Jika engkau tak ingin kehilangan dan menyebabkan orang kehilangan sesuatu atas dirimu, maka kehidupan setelah mati adalah jawabannya. Tetapi bukankah, untuk menuju kesana, kamu harus meninggalkan dulu orang-orang yang mengenalmu di dunia ini yang berarti mereka telah kehilanagan dirimu. Jadi jawabannya, kehilangan adalah niscaya kalau begitu. Dengan kehilangan, manusia tampaknya menjadi sadar kalau apa yang mereka miliki selama ini adalah sangat berharga. Bahkan kadang-kadang, kehilangan harus menjadi satu-satunya cara.

Coba pikirkan baik-baik tentang nasihat agung nan adi luhung, ingat 5 perkara sebelum 5 perkara. Sehat-sakit; lapang-sempit; muda-miskin; kaya-miskin; hidup-mati. Bukankah pada hakikatnya mereka semua bercerita tentang kehilangan?

Seperti lirik lagu Melly G “bagaimanapun hidup memang hanya sebuah cerita, cerita tentang meninggalkan dan yang ditinggalkan”. Kita akan meninggalakan semua ini, oleh karena itu, kita diperintahkan untuk beribadah. Jika kita mengacu pada landasan-landasan ini, walaupun saya tidak berhak untuk memastikan, maka akan tercipta hidup yang jauh lebih baik lagi.

Orang yang membaca tulisan ini mungkin akan berkata, saya bisa menulis seperti ini karena saya tidak (belum) mengalami apa yang teman saya rasakan akan kehilanagan materi, usaha-jeri payahnya. Tapi setidaknya saya bisa menangkap hal-hal seperti ini dan menyadari bahwa ini adalah teguran sekaligus pelajaran bagi orang-orang yang mau sedikit saja peka terhadap kejadian-kejadian.

17 Maret 2010
memetolicious.blogspot.com

Selasa, 16 Februari 2010

Kisah Pagi Ini

maukah engkau kuceritakan kisah di pagi hari ini?
itu sama seperti kemarin-kemarin
bedanya,pagi ini saya sempat menulis, saya sempat berpikir tentang hidup

matahari masih secerah kemarin, walaupun ada awan hitam yang berak-arak
bedanya, pemikiran akan hidup membuat langkahku penuh kehati-hatian hari ini

hari ini bangun tidur, masih sama meneguk air tawar yang sama
bedanya, pagi ini bukan hanya ragaku saja yang sehat, tapi juga jiwaku

maukah engkau kuceritakan kisah di pagi hari ini?
kisahnya adalah, saya menulis kisah pagi hari di siang hari

masih seperti kemarin, bedanya, hari ini semua waktu kuanggap sama - slow with my pace -jangan terlalu buru buru- lakukan perenungan - ganti sedikit demi sedikit paradigma menyalahi diri sendiri karena terburu-buru waktu

pagi ini beda, karena dia berjalan lebih lambat

BONE, 17-02-10

Selasa, 12 Januari 2010

CURHAT CALON SARJANA

Mari mencari inspirasi, kreasi dan lahan yang begitu luas untuk melanjutkan idealisme kita. Membagi ide-ide kita ke orang lain! Kata ini …ah…seandainya engkau terpatri sejak saya masuk ke kampus ini. Atau, ketika saya masuk di manapun, tempat saya menuntut ilmu.

Sampai saat ini, kepercayaan akan meninggalkan warisan kepada orang lain adalah hal yang sangat saya cita-citakan dalam hidup ini. Saya percaya kalau saya mampu dan bisa berkreasi menghasilkan hal-hal yang nantinya akan bisa dimanfaatkan secara optimal oleh orang banyak. Tetapi pertanyaannya sekarang adalah, kapan saya bisa benar-benar memulainya? Saya tidak tahu kalau memang benar tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang bagus. Tapi kali ini, saya benar-benar mengangkat bendera putih sebagai simbol kalau saya telah kalah oleh waktu, kebodohan diri yang hanya mengikuti nafsu tuk bermalas-malasan dan kepuasan sementara yang melenakan saya dari tujuan saya yang lebih besar. Saya merasa terlambat dan gagal memanfaatkan semua oportunitas yang ada tepat didepan batang hidungku. Saya tidak suka dengan status quo kalau jadinya begini !

Diri ini kini baru sadar kalau sekarang dia telah mau menghadapi ujian mejanya. Wahai mahasiswa, tahukah kau apa artinya ujian meja itu? Ujian meja sebenarnya prosesi awal yang begitu halus yang perlahan-lahan mencabut statusmu sebagai MAHAsiswa. Ujian meja sebenarnya adalah awal dari gerbang yang akan mengantarkan kamu tuk melihat persaingan yang begitu keras diluar kampus. Gerbang untuk membawamu sementara menuju ke ruang tunggu para pengangguran sebelum betul-betul matang mendapatkan pekerjaan yang bagus atau melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Ujian meja adalah prosesi dimana kamu tidak hanya diuji, tapi mata kamu akan benar-benar terbuka untuk melihat tulisan di spanduk besar yang bertuliskan WELCOME TO THE REAL WORLD!

Dari situ, kini saya terus bercermin, apa yang telah saya lakukan selama berada di kampus ini? Apakah saya hanya sering berdiskusi alot dengan teman-teman saya yang tujuannya sebenarnya hanyalah untuk menunjukkan kalau saya telah banyak mengetahui kosa kata ilmiah, berdebat, atau merangkai kata dengan begitu apiknya tanpa betul-betul mau mencari kebenaran dan kesepakatan. Apakah saya hanya mengikuti kuliah semata dan bermasa bodoh dengan kehidupan diluar kuliah. Apakah saya hanya orang yang datang untuk memamerkan penampilan saya yang terbaru dan hanya have fun dengan teman-teman. Apakah saya adalah tipe orang yang hanya betul-betul banyak memusatkan perhatian untuk mengoleksi pasangan sebanyak-banyaknya sampai malah berbuat yang lebih dari hanya sekedar mengoleksi semata. Ataukahh saya adalah tipe mahasiswa yang datang, murni hanya untuk melengkapi status saya sebagai mahasiswa.
Kali ini perasaan saya kalut dan carut marut. Kalimat itu terus berdengung di kepalaku seminggu terkhir ini. “hei boy, apa yang telah kau lakukan selama kuliah? Adakah kau telah memberikan sesuatu yang cukup berharga?” ok. Sekarang mari kita lihat apa yang telah saya lakukan, balasku terhadap pikiran-pikiranku sendiri. Seperti inilah dialognya:

SAYA: Saya cukup akitf di organisasi-organisasi
PIKIRANKU: Belum, itu belum cukup, balasnya.
SAYA: Terus, saya punya IPK yang bagus.
PIKIRANKU: Berorganisasi tapi IPK masih bagus, masih belum cukup.
SAYA: Oh ya, saya sudah beberapa kali ikut di lomba nasional.
PIKIRANKU: Biasa saja boy, itu wajar kalau mahasiswa aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan nasional.
SAYA: Trus, Cuma ini senjata saya yang terakhir, kataku pada pikiranku – saya juga pernah aktif dalam kegiatan internasional. Apakah itu belum cukup?
PIKIRANKU: Itu juga bagus. Tapi tidakkah kamu berpikir kalau kamu belum memberikan sesuatu yang extraordinary selama berada di sini boy. Kamu itu egois, masih selalu mengurung ide-ide kamu di tempurung kepalamu yang keras ini. Coba lihat orang-orang besar yang telah membius pikiran-pikiran manusia, Nabi Muhammad SAW, Ahmad Dedat, Socrates, Bung hatta, JK. Rowling, Shakespeare, zakir naik, Nabi Ibrahim atau bahkan Mario Teguh kalu kau juga sepakat. Apakah menurutmu mereka mengurung pikiran-pikiran mereka? Kau tidak membagikan candu boy, sedangkan orang-orang besar itu berhasil membuatmu kecanduan. Kamu sudah memberikan saya jawaban kalau kamu itu sudah aktif kiri kanan di berbagai kegiatan. Tapi apakah itu yang lantas menjadi amunisi bagi mereka untuk melanjutkan hidup – kehidupan mereka dengan bijak? Pikiranmu itu belum sampai menembus sel-sel otak mereka ! camkan itu baik-baik. Sekali lagi, kamu masih belum menjadi candu, kamu masih belum menjadi kafein bagi mereka.

Seperti palu godam yang besar yang langsung menghancurkan sendi-sendi kesadaranku. Apa yang telah saya lakukan? Apa yang telah saya lakukan? Beribu-ribu kali kalimat itu memantulkan echo-nya di kepalaku tanpa bisa menembus tempurung kepalaku. Saya adalah setitik debu diantara mahasiswa di lautan universitas yang kerjanya hanya mengikuti angin. Saya masih belum bermetamorfosis sempurna. Belum. Masih sangat jauh malah. Dan saya tak tau kapan sampai bisa kesana. Kapan saya bisa buat buku? Buku apapun modelnya. Kapan saya bisa mempubikasikan tulisan saya di media-media yang pangsanya besar. Kapan saya bisa menjadi pembicara di seminar-seminar atau workshop. Kapan saya bisa menjadi orang yang membedah sendiri buku ciptaanya. Sampai pertanyaan ke 1001, pertanyaannya masih dimulai dengan kata “kapan”.

Melihat acara-acara di tv, membaca artikel seseorang di Koran-koran, membaca buku-buku, menonton film-film dan masih banyak daftar lainnya, saya dengan diri yang penuh kedunguan ini, kembali lagi disadarkan bahwa apa yang saya liat, baca, dengar,rasa, adalah “hasil karya” dari orang. Mereka sukses telah membuat saya menjadi konsumen yang setia. Saya tak menyadari, kalau sebenarnya, saya harus banyak-banyak meluangkan waktu tuk berkaya. Berkaya apapun bentuknya, yang bisa dinikmati orang banyak. Sungguh, mereka telah melenakan saya.
Besok sudah akan ujian meja. Dan diri yang dungu ini masih meratapi dirinya yang masih belum mencerahkan orang lain.

Selasa, 12 Januari 2010 pukul 08.22 WITA. H-1 sebelum ujian meja………….
Muhalim Dejes / metmet
Fb & Email: memet_buwanget@telkom.net