Kamis, 01 November 2007

imagosentris

Imagosentris, begitu Dee memberi judul pada salah satu artikel di bloggernya. Dari kata image, Dee menggambarkan manusia sekarang yang terpusat pada image, pada citra. Kadang-kadang dia mengatakannya dengan ‘bedah citra’, dan yakinlah kalau kau tidak akan menemukan bentuk kata ini di kamus manapun. Pada masa ini, yang kata orang adalah zaman postmodernisme, segala hal berlaju dengan sangat cepat. Era informasi, komunikasi dan teknologi, telah mengantarkan pada babak baru era yang lainnya. Satu hal yang pasti yang diketahui sekarang, bahawa kita sedang menapaki era ekonomi budaya, bias dari era sebelumnya. Dimana fashion, seni, atau budaya itu sendiri berputar sebagai pilar ekonomi. Kita tidak tahu bahwa klimaks dunia ini akan seperti apa atau kapan terjadinya. Tapi kita bisa melihat kalau Armageddon, Deep Impact, kiamat Sudah Dekat, adalah bukti nyata bahwa manusia itu dengan cukup optimis mengimani bahwa kiamat benar akan datang. Entah laju era itu melaju bagaikan kurva parabola, fluktuatif, atau datar-datar saja. Tetapi yang bisa kita simpulkan bahwa laju image itu sendiri berjalan bagaikan kurva parabola. Terus menanjak dalam konotasi yang masih dipertanyakan, positif atau negatif.

Ada fir’aun yang mengukukuhkan imagenya sebagai penguasa dengan mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan. Ada kaum Jewish (Yahudi), yang memonopoli image bahwa mereka adalah bangsa terbaik, manusia terbaik. Karl Marx yang sosialis, Marlyn Monroe si ‘bom sex’, hingga duo Ratu yang harajukuis (begitu saya menamakannya). Dikalangan pemuda, lahirlah anak Punk sebagai potret image anti kemapanan, harajuku yang independen, Pemuda Pancasila yang nasionalis, atau Green Peace si pencinta alam. Masyarakat tradisional yang ingin dibilang ‘Dg.Haji”,Petta, Puang, priyayi, atau keturunan darah biru. Semua hal ini sah-sah saja, selama tidak menjadi hiperbolis memuakkan dan tidak mengganggu ketentraman orang lain. Di era ekonomi budaya ini, image telah terprogram dan terintegrasi dalam setiap processor kebanyakan manusia. Pertempuran informasi telah membuka glamournya dunia yang tak terhijab. Image yang diciptakan hanya sedikit yang berkaitan dengan integrasi ilmu, budi pekerti, atau integrasi-integrasi lainnya yang lebih urgen. Tetapi image yang dibangun kebanyakan oleh individu, tidak lebih pada sebatas performa, fashion. Sindrom raksasa ini mampu mengubah hampir semua perwajahan tempat-tempat umum menjadi karpet merah. Semua ingin menjadi seperti artis. Alih-alih menjadi manusia yang bijak dan cerdas dalam menentukan pilihan, yang ada adalah pola konsumerisme yang overdosis.

Berbicara tentang perwajahan akan sulit habisnya. Seperti kata dewi lestari,Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan satu manusia. Image yang terus dibangun bahkan berdampak pada pengrusakan lingkungan dalam skala yang cukup besar, dan itu adalah pernyataan yang tidak berlebihan. Seperti wajah kota-kota modern yang dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan bermesin. Atas nama image dan modernisasi, orang-orang berlomba-lomba untuk mengunakan Jaguar mewah atau Ducati terkeren, tanpa pernah berpikir bahwa gas CO2 yang dilepaskan diudara, melahirkan badai El-Nino, tsunami, Katrina, musim panas terparah di Eropa sepanjang sejarah, rusaknya gletser, atau matinya beruang-beruang kutub karenya mencairnya es tempat kehidupan mereka. Isu pemanasan global bukan lagi sebuah hipotesis, tetapi sebuah fakta yang faktual. Tetapi tampil mentereng, memang lebih memuaskan manusia-manusia sebagai desire machine, daripada menghirup udara yang bersih dan segar. Mari kita sesekali bercermin pda Jepang, penyumbang polusi sedikit, tetapi tetap dalam wajah modernitas. Pajak kendaraan pribadi yang sangat tinggi menyebabkan masyarakatnya yang lebih memilih kendaraan umum. Love pedestrian. Mari kita mencintai jalan kaki. Saya pribadi, selalu menggunakan kendaraan pribadi dalam beraktivitas, karena jarak rumah yang cukup jauh. Tetapi saya dapat berkontribusi dengan berjanji untuk tidak sering keluar dengan menggunakan kendaraan, jika tujuannya bukan untuk hal-hal yang penting. Banyak cara yang bisa kita lakukan, seperti memilih sepeda,menanam pohon, menggunakan AC seperlunya, atau bahkan menggantinya dengan kipas angin. Tidak perlu menunggu pemerintah, tapi mulailah dari setiap individu.

Seperti bilangan kompleks. Bilangan real dan bilangan imajiner. Saya selalu mengasosiasikannya dengan pelaku image dan image itu sendiri. Akar (-1) adalah bilangan imajiner. Hasilnya sulit dideskripsikan tapi sebenarnya dia ada. Ketika bilangan ini berlipa-lipat, maka niscaya kita bisa melihatnya dalam bentuk real. Pakaian adalah bilangan real yang akan mengasilkan image (bilangan imajiner).ketika intensitas mengganti dan membeli pakaian-pakaian baru dilakukan atas nama selera dan nafsu, maka yakinlah kalau akan terjadi eksploitasi alam yang berlebihan. Hal yang tidak pernah dipikirkan oleh pelaku image tapi sebenarnya terjadi. Hasil dari perburuan ‘image’. Mari kita sejenak melepas ke-aku-an dalam diri kita. Tidak menjadi subjek tetapi objek. 0bjek yang kita sendiri dapat mengobservasinya. Objek yang menyadari penuh bahwa tidak hanya bilangan real yang ada, tetapi juga bilangan imajiner. Tidak mencoba untuk berburu image, tapi benar-benar melakukan perubahan fundamental konstruktif. Mari bersam kita cerdas.
Memet_buwaned@telkom.net