Selasa, 10 Agustus 2010

Catatan puasa hari I 1431 H : Andaikan Kita Bisa Selalu Menghadirkannya di Keseharian Kita

Kemarin dulu saya dan beberapa anggota keluarga menyempatkan diri untuk ziarah ke makam om dari bapak saya. Seperti kebiasaan masyarakat kita pada umumnya, kalau akan memasuki bulan ramadhan maka mereka akan menyisihkan waktunya untuk menziarahi orang-orang dicintai yang telah berpulang terlebih dahulu.

Saya mengantar kakak saya dengan sepeda motor. Sewaktu disana, saya tidak melakukan apa-apa. Saya tak berdoa di depan makam karena tak tau doa apa yang harus saya baca, tidak melakukan siraman kubur atau bersepakat dengan kebiasaan menziarahi makam sebelum bulan puasa itu sendiri. Karena saya tidak (belum) tau hukumnya bagaimana. Karena ajaran agama kita mengatakan bahwa tidak ada amal perbuatan yang tidak berlandaskan ilmu. Dan saya tidak memiliki ilmu akan hal itu, maka saya tidak amalkan.

Bertepatan dengan waktu itu, corong masjid yang berada di dekat pekuburan itu mulai melantunkan ayat-ayat suci, hal yang biasa sebelum azan magrib dan azan sholat-sholat lainnya. Tapi entah mengapa tiba-tiba ada perasaan yang tak biasa yang memang kerap kali muncul. Perasaan takut kepada-Nya, mengingat Dia kembali.

“Apakah kamu tidak mengambil pelajaran dari orang-orang terdahulu?” saya tiba-tiba teringat dengan salah satu ayat dari Al-Quran itu. Sambil mondar-mandir diantara kuburan, saya sesekali juga menyelipkan lamunan diantaranya, dan ayat itupun terus bergaung di kepala saya. Mau bukti apalagi? Oceh pikiranku. Semua pasti akan binasa dan kembali ke Penciptanya- sebuah kata-kata yang kita telah sering dengar sedari kecil. Tapi cuma momen yang seperti itu baru kadang-kadang kita menyadari. Momen dimana kuburan harus berada persis di depan kita. Momen dimana kita melihat upacara pemakaman. Momen dimana kita mencium bau kapur barus mayit, lengkap dengan kain kafannya. Ditambah lagi, saat itu, lantunan ayat suci Al-Quran benar-benar mengambil perhatianku.

Kalau kita selalu menghadirkan perasaan itu, saya kira orang-orang yang akan maju untuk pemilu presiden, Kada, bupati, dst tidak akan terlalu banyak, bahkan mungkin tidak ada. Mungkin tindakan Satpol PP untuk menertibkan warung remang dan operasi Miras tidak akan pernah perlu. Infotaiment mungkin tak akan begitu laku dan tak akan ada yang mengidolakan Justin Beiber. Mau diapakan semua itu kalau perasaan takut, menghamba, dan menyadari kalau di dunia ini semua semu selalu hadir di dalam hati kita?

Perasaan yang sama juga acapkali kita temukan ketika berada di mesjid-mesjid. Tapi susahnya, kita tak sanggup menghadirkannya ketika berada di tempat kerja, di sekolah, di depan computer, dan di tempat-tempat yang lainnya. Saya pribadi selalu gagal dalam membunyikan kembali alaram ingatan itu. Yang saya pikirkan sejauh ini, mungkin untuk menghadirkan ingatan dan perasaan seperti itu membutuhkan latihan yang juga regular, harus dilatih.

Mengapa kita (manusia) tidak pernah belajar dari pengalaman? Seolah-olah yang hidup sekarang ini adalah satu-satunya kaum yang telah menciptakan peradaban, bermukim, berkompetisi dan satu-satunya kaum yang pernah mengumpulkan harta. Seolah-olah kaum sekarang yang sedang hidup adalah kaum yang terpelajar yang mempunyai kebijaksanaan yang puncak. Seolah-olah kitalah kaum yang hidup dengan menggunakan teknologi tercanggih. Padahal, setiap teknologi menjadi termutakhir berdasarkan zamannya.

Dari yang saya ambil sebagai kesimpulan sendiri, mengapa Al-quran menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya? Karena Al-Quran telah merekam semua ragam cerita kehidupan yang telah terjadi. Cerita kehidupan yang terjadi sesudahnya semuanya sudah diantisipasi dan ada pedomannya. Kita hanya perlu pandai-pandai mengambil pelajaran di dalamnya, kitab peringatan. Selayaknya kita sesekali melihat kembali apa yang kita bisa lihat dari orang-orang terdahulu.

Lihat? Semuanya dangkal bukan? Semua yang terjadi sekarang cuma merupakan modifikasi masa lalu. Berkembang tapi wilayahnya dangkal. Hal yang hakiki adalah: menunaikan tujuan hidup kita. Walaupun sangat sulit untuk melaksanakannya saya kira, karena kita harus melawan mainstream kalau begitu. 
Marhaban yaa ramadhan..

memetolicious.blogspot.com