Minggu, 02 Februari 2014

Ilmu yang Bermanfaat

Alangkah mulianya seorang yang mengajar dengan niat tulus untuk berbagi ilmu kepada para murid-muridnya. Kita selalu mendengar kata-kata yang heroik tentang guru, bahwa mereka adalah pahlawan. Dengan menjadi guru berarti kita akan mendapatkan amal jariyah—amal pahala dalam agama Islam yang akan mengalir terus walaupun orang tersebut telah mati. Saya pun selalu mengafirmasi diri sendiri bahwa profesi guru adalah profesi yang mulia, kita bisa berbagi ilmu, bisa mencerdasakan dan yang paling penting katanya adalah keuntungannya dobel: dunia dan akhirat.

Di suatu pengajian yang saya hadiri, seorang Ustad saat itu sedang membahas dzikir pagi-petang. Salah satu dzikir yang biasa dibacakan mempunyai arti yang seperti ini: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amal perbuatan yang diterima (di sisiMu). Beliau mengatakan bahwa Rosul sering berdoa untuk diberikan ilmu yang bermanfaat ini. Ustad tersebut kemudian bertanya kepada kami para jamaahnya “apa itu ilmu yang bermanfaat?.” Tanpa menunggu jawaban dari kami karena memang pertanyaan tersebut adalah pertanyaan retoris, beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang semakin mendekatkan diri kita kepada Rabbnya, semakin membuat kita mengenal Tuhan dan agamaNYa. Jadi ketika ada suatu majelis ilmu, walaupun majelis ilmu agama sekalipun, tetapi tidak semakin mendekatkan para murid atau santrinya kepada Allah tapi justru membuatnya semakin menjauh, maka ilmu tersebut bukanlah ilmu yang bermanfaat dan justru patut dicurigai kesahihannya.

Lantas apa saya ini? Apa yang selama ini saya lakukan? Apa yang selama ini saya pelajari? Bermanfaatkah ilmu yang telah saya pelajari? Bermanfaaatkah ilmu yang telah saya ajarkan? Adakah ilmu saya telah membuat murid saya lebih dekat kepadaNya? Adakah ilmu yang saya pelajari membuat saya lebih dekat kepadaNya? Pertanyaan-pertanyaan ini langsung mencuat di kepala saya.

Kemudian saya sepenuhnya sadar bahwa tidak ada jawaban yang lebih baik terhadap pertanyaan mengapa banyak orang pintar tetapi keburukan-keburukan malah tumbuh subur selain jawaban ini: ilmu yang kita ajarkan sebagian besar tidak membuat para penuntut ilmu mengenal Allah, mengenal Tuhan semesta alam, mengenal penciptaNya.
Saya orang yang begitu kagum dengan para penuntut ilmu, para guru yang kaya akan karya dan prestasi. Membaca artikel-artikel penelitian membuat saya sadar bahwa betapa giatnya si akademisi ini, betapa tangguhnya, betapa cerdasnya dan betapa beruntungnya ia bisa memberi kebermanfaatan kepada orang lain. Membacanya membuat saya menyadari betapa waktu mereka sangat produktif, usia mereka tidak dihabiskan dalam kesia-siaan dan idenya berkontribusi bagi masyarakat dan bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Tapi ini semua pada awalnya saja. Semakin lama saya menyadari bahwa ini semua tidak membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Saya tidak mengatakan bahwa ini sia-sia sama sekali, tetapi untuk dikatakan bermanfaat (menurut standar sang Pencipta kita) sama sekali belum. Ambillah contoh hasil penelitian yang pada akhirnya secara umum sifatnya tidak konklusif dan jika diterapkan pun umumnya tidak semakin membuat orang-orang berperilaku baik dan memahami makna kehidupan dalam setiap denyut aktivitasnya. Sebagai ilustrasi, apa yang telah kita lakukan dengan hasil penelitian (ambillah contoh) berbagai metode pengajaran yang dianggap baik? Jawabannya adalah kita mempraktekkannya dalam proses pengajaran kemudian kita teliti lagi karena ada kekuarangan, kemudian diimplementasikan lagi, tapi karena ada kekurangan lagi kita kemudian teliti lagi, begitu seterusnya.

Jangan salah sangka dulu. Tentu saja ini semua tidak sia-sia. Dengan melakukan penelitian dan mengimplementasikan hasilnya akan memberikan kemudahan bagi para manusia. Dengan metode pengajaran yang baik, guru akan dapat mengajar lebih baik. Dengan menjadi guru yang lebih baik, maka anda kemungkinan akan memiliki jenjang karir yang lebih baik lagi. Tetapi dampaknya sampai disini saja, karena memang yang dipuaskan adalah otak dan tidak menutrisi hati nurani. Pada akhirnya hanya akan berada pada level “tidak sia-sia”, karena dampaknya tidak membuat si pembelajar mengenal kebaikan hakiki karena mereka tidak mengenal sang pemilik kebenaran hakiki tersebut. Padahal kalau kita mau jujur, setiap ilmu, dengan menggunakan wawasan dan kreatifitas yang kita miliki, bisa membuat murid semakin dekat dan kenal sang Penciptanya. Mengenalkan ajaran-ajaranNya, mengenalkan sifat-sifatNya, mengenalkan apa yang telah diciptakanNya, dst. Semua ilmu bisa, karena bukankah alam ini sendiri adalah ayat-ayat Allah juga? Jadi tidak ada alasan untuk tidak bisa mengenalnya. Yang harus dilakuakan hanyalah kita hanya harus membuatnya eksplisit. Kita hanya harus membuatnya eksplisit.

Ketika kita membahas tentang elektron dan proton dalam pelajaran Kimia, kita bisa menghubungkannya dengan keMahaBesaran Allah yang telah menciptakan hampir segala sesuatunya berpasang-pasangan. Ketika kita mengajarkan greeting seperti “good morning”dalam pelajaran Bahasa Inggris, kita bisa menjelaskan perbedaan salam dengan yang diajarkan agama Islam bahwa salam itu terlepas dari peralihan waktu dan bahwa salam itu adalah doa supaya diberi keselamatan dari sang Maha Pelindung. Dalam pelajaran Fisika, kita bisa menerangkan keMahaAgungan Allah yang telah menciptakan tatanan semesta yang begitu sempurna, tidak saling berbenturan satu sama lain. Dalam pelajaran sastra, kita bisa memberikan beberapa penggal ayat Quran yang memiliki bahasa sastra yang sangat agung. Sebelum memulai pelajaran kita bisa memulai dengan doa terlebih dahulu guna menekankan bahwa ilmu, akal, kecerdasan yang kita miliki adalah pemberian dariNya. Kesemuanya bisa kita hubungkan untuk lebih mendekatkan dan mengenalkan Allah kepada murid-murid. Cuma yang menjadi pertanyaan adalah, maukah kita melakukannya?

Saya harus mengakui bahwa sayapun masih sangat canggung dalam melakukan ini semua. Sebagai dosen pusat bahasa yang mengajarkan Bahasa Inggris, saya masih merasa enggan melakukannya disebabkan oleh prasangka buruk saya jikalau nanti para mahasiswa saya akan menganggap saya dosen yang sok “ngeustad.” Alangkah buruknya diri saya ini yang justru malu menghubungkan pelajaran dan mengajarkan agama kepada para mahasiswanya. Padahal dengan mengajarkan Allah—dengan menggunakan strategi pengajaran yang baik, akan mendekatkan para mahasiswa saya dengan kebaikan, karena mereka mengenal sang pemilik kebaikan itu sendiri. Dan bukankan nyawa inilah yang telah hilang dari pendidikan kita?

Saya semakin menyadari mengapa Rosul sering meminta ilmu yang bermanfaat saja dan berlindung dari ilmu yang sia-sia.

FB: Muhalim Dijes
@memetolicious

Sabtu, 21 September 2013

BerISLAM Kok Gak PeDe?

Suatu hari saya pernah dengar seseorang berujar seperti ini “Ber-Islam kok gak pede.” Ah... jleb sekali ucapan itu. Langsung membuat saya malu dan terus bertanya-tanya dalam hati “jangan-jangan saya begitu?”

Kebanyakan dari kita adalah muslim. KTP muslim, orang tua muslim, tetangga muslim, teman kantor muslim, atasan muslim. Muslim dimana-mana. Tapi pernakah kita amati kalau kita semacam inferior memiliki idenditas sebagai seorang muslim. Malu kalau celananya dianggap kebajiran, atau merasa agak aneh dengan seorang perempuan yang bercadar, kesannya menakutkan gimana gitu…

Saya pernah mendengar seorang teman dosen yang menceritakan pengalamannya waktu di Belanda. Waktu itu dia lagi diajak oleh seorang muslim dari Indonesia yang sudah menetap disana untuk ikut pengajian. Kebetulan jarak antara kota tempat dia tinggal dengan orang yang ngajak pengajian tersebut cukup jauh. Terus si dosen itu ngomong gini “aduh tau kan ya, kotanya jauh gitu terus disuruh ikut pengajian, gak banget kan. ” Hambooiiiiiii…

Ada nada bangga dalam kalimatnya. Bangga kalau pengajian itu sesuatu yang ‘nggak banget.’ Ada nada merendahkan dalam kalimatnya. Merendahkan keutamaan mentadabburi Quran. Ada nada inferiority complex dalam ucapannya. Inferior dengan ilmu agama Islam.

Sadar atau tidak sadar, kita sudah terlalu banyak dijejali dengan pandangan-pandangan hidup yang gak sesuai dengan pandangan hidup Islam (terus mungkin ada yang nyeletuk dalam hati, ah si penulis gak progresif, ah si penulis basi, ah si penulis ini pasti muslim fanatik, dan anda bisa melanjutkannya sendiri….). Yang kita baca, kita tonton, kita alami, kita dengar, kita liat panutannya kebanyakan adalah produk pemikiran dan barang fisik yang sekarang dimenangkan oleh barat. Hal ini dilakukan melalui jalan yang tidak langsung menghajar agamanya, tetapi melalui penanaman pondasi berpikir ala-ala barat (nyeletuk lagi?). Contohnya nih, prinsip relativisme dan kebebasan berpikir. Melalui ideologi ini, absolutisme dan otoritas dalam Islam terus digerus yang implikasinya adalah perombakan secara perlahan-lahan ajaran agama, karena disesuaikan dengan interpretasi pribadi-pribadi yang tidak punya otoritas. Padahal kalau mau direnungkan lagi, tidak ada sesuatu yang sepenuhnya relatif atau bebas, mengingat paham ini pun akan mengklaim salah orang yang tidak berpikir relatif dan bebas. Dengan kata lain, relativisme dan kebebasan itu sendiri adalah kemutlakan.

Pandangan hidup-pandangan hidup ala barat seperti ini jumlahnya sangat banyak, yang perlahan-lahan mulai mengakar pada masyarakat. Sebagian orang tidak mengakui hal ini karena memang mereka sebenarnya gak sadar jika pola-pola pemikirannya sudah terbentuk mengikuti pola-pola paparan informasi dan pengetahuan yang diterimanya baik melalui proses belajar (sadar) atau melalui pengalaman (tidak sadar).

Pernahkan kita berada disuatu acara dengan peserta yang mayoritas muslim, kemudian pas waktu sholat fardhu telah masuk kita berniat untuk meninggalkan acara guna pergi ke masjid. Kemudian dalam hati kita berpikir, “ah, nanti saya disebut orang yang sok” atau “ah nanti saya disebut pamer” atau “ah saya gak enak dengan teman yang gak biasa sholat jamaah di masjid, nanti karena saya, dia merasa gak enak lagi”, atau pemikiran-pemikiran yang semisal. Padahal dalam kegiatan tersebut hampir semuanya muslim. Pernahkah kita merasa sungkan mengatakan ‘Assalamu’alaikum’ ketika menyapa seseorang, ketika ingin masuk di suatu ruangan, atau ketika ingin bertanya kepada seseorang yang kita tahu jika orang tersebut muslim dengan pikiran-pikiran seperti “ah, nanti saya dianggap sok nge-ustad lagi.” Atau pernahkan kita malah menghindari saling menasihati dalam kebaikan dengan alasan takut dicap sebagai orang yang lebay? Padahal kita hidup di tengah-tengah masyarakat yang MAYORITAS muslim? Bukankah sangat aneh ketika kita mempunyai identitas yang sama tapi kita justru malu menonjolkannya?

Selalukah kita bepikir “ah, yang penting humanisme.” Yang penting update info. Yang penting berkasih sayang. Yang penting jadi orang yang supel dan diterima di banyak kalangan. Yang penting berprestasi. Yang penting ikut trend.

Tapi pernahkah kita berpikir “pokoknya hidup sesuai sunnah.” Pokoknya saya berkhlak baik dan beradab. Pokoknya saya berteman dengan orang yang soleh. Pokoknya saya berilmu. Pokoknya paham agama.

Untuk berkompromi dalam pergaulan, kita biasanya mengikuti standar yang sebenarnya kita sendiri tidak tau dari mana. Kritis biasanya hanya berada dalam ruang-ruang kelas ketika mengkaji suatu ilmu, sangat eksklusif. Ketika kita sudah berada dalam konteks pergaulan, nilai-nilai yang ada tidak dikritisi, tidak difilter. Semua ingin ikut diadaptasikan tanpa ada nilai-nilai yang tetap. Agama tidak “berhak” berada di ruang pergaulan. Alasannya toleran. Toleran dengan pemeluk agama lain sih sah-sah saja. Lah, ini toleran kok sesama muslim? Sampai kadang-kadang “malu” menunjukkan identitasnya. Ini toleran atau bentuk ketidakpercayaan diri?

Ujung-ujungnya memang adalah ilmu. Kita sudah sangat jauh dalam ilmu dan sayangnya kurang mau memperdalam ilmu agama dengan alasan mau menjadi biasa-biasa aja atau dengan alasan takut menjadi fanatik dalam beragama. Lagi-lagi standarnya masyarakat umum yang kurang mau menuntut ilmu. Intinya, mari beragama seadanya.

Saya muslim, dan sekarang saya tidak pernah merasa risih lagi jika seseorang menelanjangi saya dengan tatapannya ketika melihat celana saya yang sedikit diatas mata kaki. Masalah akhlak bisa diperbaiki, yang penting konsisten dan mau menjalankan sunnah. Mungkin bacaan Quran kita sangat jauh dari sempurna, tapi jangan pernah merasa gak pede menunjukkan bahwa saya seorang muslim. Jangan merasa takut untuk tidak diterima dimasyarakat. Jangan karena kita ingin dikatakan gaul, supel dan toleran, sehingga mengorbankan kebanggaan beragama.

Oh iya, saya lupa. Saya mau mengatakan bahwa dosen tersebut berasal dari salah satu universitas Islam yang terkenal.

Malam Minggu ~
@memetolicious


Minggu, 05 Mei 2013

Mengapa Berprasangka Baik itu Baik


Bagi sebagian orang, hidup dijaman seperti sekarang ini seperti buah simalakama. Ketika dihadapkan pada suatu kondisi dimana mereka harus berinteraksi satu sama lain baik dalam keadaan setara maupun tidak setara dalam hal otoritas dan kekuasaan, prasangka akan selalu mengambil tempat mulai dari awal hingga akhir dari proses hubungan. Runtuhnya adab dan akhlak di satu sisi akan membuat orang selalu mengenakan tameng curiga, judgmental, skeptis atau bahkan tameng tuduhan. Sedangkan menurut resep-resep langgengnya suatu interaksi atau kunci dari pengharapan yang baik, dilain sisi, bergantung pada prasangka yang baik.


sumber gambar

Akan banyak kita temui orang-orang yang melihat orang lain dari kacamata mereka. Kita akan selalu menemukan orang-orang yang bias, sibuk dengan pikiran dan prasangkanya masing-masing. Mereka menerka-nerka dan menebak dan pada akhirnya akan mengambil kesimpulan sendiri. Tetapi tentu saja di sisi lain kita bisa menjumpai orang yang jarang berkomentar, hanya menyunggingkan senyum, menghindari perdebatan, tidak menceritakan keburukan-keburukan manusia dan pada akhirnya selalu mengambil ibrah/pelajaran dari suatu kejadian.

Memikirkan ini, saya kemudian selalu berkaca dan berpikir. Saya selalu mendapati momen dimana saya selalu bertanya-tanya “kenapa orang tersebut sampai bisa berpikir seperti itu tentang saya?”, atau dengan pertanyaan “dia tidak mengetahui apa yang ada dipikiran dan hati saya, tapi mengapa dia begitu judgmental terhadap saya?” Pikiran-pikiran seperti ini selalu muncul dan lucunya kita jarang berkaca kalau bukan hanya kita yang punya pikiran seperti ini, tapi semua orang punya. Ya, SEMUA ORANG.

Maka ketika kita bertanya-tanya, orang lain sesungguhnya juga selalu bertanya-tanya. Masih kurang sadarkah kita akan hal ini? Ketika kita tahu bahwa kita tidak ingin orang lain berpikiran buruk tentang diri kita karena ketidaktahuannya akan apa yang ada di hati dan pikiran kita, tentu saja akan sangat aneh kalau kita yang justru melakukannya kepada orang. Kita tidak ingin selalu dituduh oleh orang lain, tapi tidak sadar ketika menuduh orang lain. Membuat pola-pola, berspekulasi, berandai-andai, dan membuat skenario sendiri.

Kecuali hal yang sifatnya hakiki, yang bersifat tuntunan dari ajaran agama, maka sangkaan buruk manusia tidaklah dianjurkan untuk dikembangbiakkan. Agama adalah pembeda antara yang haq dan yang bathil, maka ketika sesuatu dikatakan jelek, maka jeleklah iya. Ajaran agama tidak boleh di relatif-kan. Kalau agama sudah relatif, maka percuma manusia beragama.

Dalam Islam dikatakan bahwa Allah berkata “ Aku adalah apa yang disangkakan oleh hambaKu.” Sehingga disini jelas, dalam hal qada’ dan qadar, Allah sudah menyiapkan yang terbaik bagi manusia. Manusia bisa membuat banyak proposal, tapi Tuhan-lah yang akhirnya menentukan. Selama proses menunggu, prasangka yang baik adalah bahan bakar untuk kesabaran. Ketika proposal kita sudah dijawab, prasangka yang baik pula yang akan menjadi tempat berkonsultasi. Mari, mari coba berpikir. Mari, mari coba lihat sekitar kita kalau hubungan yang palsu selalu penuh dengan sangkaan yang buruk. Senyum yang palsu tidak akan pernah meresonansikan kehangatan, yang sprektumnya tidak sampai ke ruang-ruang di hati.

Prasangka yang baik akan menciptakan pribadi, lingkungan bertetangga, lingkungan kerja, lingkungan bisnis, bahkan pemerintahan yang baik. Prasangka yang baik akan mempunyai kesan abadi, bahwa pribadi yang berprasangka hidupnya selalu bahagia, dipenuhi dengan harapan-harapan dan tindakan yang mengundang kebaikan. Prasangka yang baik akan menjaga hati dan menjaga lidah.

Itulah mengapa berprasangka baik itu baik.


@memetolicious

Sabtu, 20 April 2013

Delusi-Akar-Bunga

Delusi
Kemudian bulan juga diam
Dalam senyum setelah memakan buah yang ranum
Di suatu balai
Membelai

Bahkan surya tidak mempan
Panasnya, teriknya,garangnya
Dalam senyum setelah memakan buah yang ranum

Tapi tiba-tiba bulan tak tampak
Keringatku bercucuran
Tak ada sisa buah
Tak ada senyum

Delusi: ternyata ini yang benar

Akar
Kemudian sampai pada kesimpulan
Kalau ranum butuh akhlak yang harum
Jangan bermimpi dulu ke balai
Jangan mimpi dulu dibelai

Maka saya akan membuatnya kokoh
Terpancang memanjang
Menjadi pribadi
Abadi

Akar: jangan melangkah dulu sebelum benar-benar kokoh

Bunga
Kemudian akan kau dapati
Sebelum buah yang ranum
Warna-warni, wangi-wewangi
Bunga yang muncul satu persatu

Bukan hanya mata tapi juga lebah
Bukan hanya menarik tapi juga harum
Maka kemudian akan kau dapati
Kebermanfaatan

Dalam banyak episode
Kau akan bergumul dengan luka

Bunga: kau punya ini, maka luka tak bisa melukaimu

Minggu, 03 Februari 2013

Bersahabat Dengan Lupa dan Bermusuhan Dengan Syukur


Liburan kuliah semester satu saya kemarin kuhabiskan di Balikpapan. Alasan memilih kota ini adalah karena dorongan dari orang-orang yang saya kenal yang sudah pernah kesana. Saya mengenal beberapa teman yang pernah dan sedang bekerja disana, dan saya juga memiliki beberapa keluarga yang sudah menetap disana. Disamping itu, karena impian saya untuk menjelajahi kota-kota di Indonesia, dan berhubung saya juga belum pernah ke pulau Kalimantan, maka saya memutuskan pergi Balikpapan.

Disana saya tinggal dirumah kontrakan teman saya dan juga beberapa hari di rumah keluarga saya. Teman saya ini seorang lulusan S1, pegawai tetap PLN disana. Sebut saja namanya Madi. Dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang dia miliki di awal tugasnya dia telah mendapatkan posisi sekertaris manager dan sering menangani proyek-proyek. Sudah menjadi rahasia umum kalau PLN merupakan BUMN yang karyawannya memiliki gaji yang cukup lumayan untuk standar gaji orang Indonesia. Madi punya gaji pokok 4,2 juta perbulan. Jika ditambah dengan proyek-proyek yang dia tangani dengan honor Surat perjalanan Dinas (SPD), maka dia bisa mencapai angka ±10 juta untuk gajinya selama sebulan. Gaji sebulan yang menurut saya cukup banyak untuk standar lulusan S1, apalagi status dia yang belum berkeluarga. Ketika dia menjemputku dibandara dan mentraktir makan 2 piring nasi goreng plus 2 gelas jus, dia harus merogoh kocek sebanyak 115 ribu rupiah dengan entengnya. Biaya yang saya bisa gunakan untuk makan selama 8-9 hari hidup di Malang.

Saya sendiri sedang mengenyam pendidikan S2 Pendidikan Bahasa Inggris, seseorang yang insyaAllah akan menjadi guru atau dosen Bahasa Inggris. Sejak kuliah S1, saya sudah memutuskan untuk menjadi seorang akademisi. Dengan tugas utama sebagai seorang pendidik, kita tahu bersama bahwa gaji pokok seorang dosen PNS baru di Indonesia yaitu 1,8 juta rupiah. Gaji akan naik secara berkala setiap 2 tahun. Pangkat akan naik tiap 4 tahun dan gaji ikut naik. Kalau sudah memiliki jabatan edikatif dia akan ada tambahan tunjangan dosen, tunjangan transport, dll. Kalau sudah 3-4 tahun bekerja, pendapatan kurang lebih Rp. 3 juta. Berapa gaji pokok seorang dosen dengan gelar Ph.D golongan IIIB di Indonesia? 2,7 juta!!

Sekarang kita coba kembali lagi ke teman yang saya tadi. Sewaktu saya bersama Madi, dia sempat mengerjakan proyek selama 4 hari. Dengan proyek itu, dia mendapatkan honor untuk SPD sebanak 1,6 juta. Sewaktu saya mendengarnya, saya langsung berkomentar kalau itu hampir setara dengan gaji sebulan seorang dosen PNS baru. Sebulan berbanding 4 hari, sebuah perbandingan yang terdengar ironis ditelingaku. Seharusnya dengan gaji yang seperti itu ‘pasti’ Madi biasa bahagia, jika parameter kebahagiaan memang dengan uang. Tapi ternyata tidak.

Pada awalanya ini mungkin akan terdengar terkesan membanding-bandingkan. Membanding-bandingkan gaji, membanding-bandingkan rejeki. Tapi ini sesungguhnya bukan inti dari tulisan ini.

Ternyata apa yang saya temui sama saja. Cuma dia mengambil bentuk dan tempat yang berbeda. Dengan gaji sekian sekian dengan status yang masih bebas, keluhan demi keluhan, kejenuhan demi kejenuhan ternyata juga datang silih berganti. Madi yang saya anggap agamanya cukup bagus berkeluh kalau terlibat dalam proyek-proyek itu riskan dari sisi tanggung jawab secara moral dan agama, karena banyaknya ‘permainan’ dari berbagai pihak. Beberapa kali dia juga bercerita kalau atmosfir kerjanya tidak cukup sehat, sikut sana sikut sini. Pada suatu kesempatan yang lain dia juga mengatakan kalau sebenarnya dia tidak cocok menjadi orang lapangan, menjadi pengawas dan bertanggung jawab akan ketuntasan suatu proyek. Bahkan dia sempat mengatakan kalau saat itu dia sedang berusaha mencari cara untuk ditempatkan di wilayah, di kampungnya sendiri, di kota Makassar. Katanya tak mengapa gaji lebih sedikit, yang penting dia bisa ‘aman’.

Madi ini bukan berarti tak pandai bersyukur. Kondisi-kondisi diatas adalah kondisi yang niscaya ada dalam hidup dimanapun kita berada. Dengan segala yang dimiliki maka belum tentu kita akan terhindar dari masalah-masalah, keluhan-keluhan atau kesedihan hati.

Oh iya, ada satu hal lagi yang saya belum ceritakan. Madi ternyata lebih mempunyai tabungan yang banyak ketika bekerja di salah satu perusahan kontraktor di Makassar dengan gaji dua jutaan. Dengan gajinya sekarang yang berkali-kali lipat dari gaji sebelumnya, ternyata tidak membuatnya bisa lebih berinvestasi untuk masa depannya. Pola hidup dan lingkungan akan sangat mempengaruhi pengeluaran-pengeluaran keseharian. Kadang, secara otomatis kita akan terpaksa atau mungkin dipaksa mengikuti situasi. Demikian pula Madi. Kita mungkin saja berimajinasi kalau kita jadi artis, pasti tabungan kita akan banyak, jadi kaya. Tapi kalau kita lihat, ternyata artis punya banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang nampaknya harus dipenuhi agar bisa diterima dalam dunia keartisan. Sebelum jadi artis, membeli tas di pasar umum atau digerai yang banyak dikunjungi masyarakat biasa bisa saja menjadi hal yang jamak. Tetapi setelah menjadi artis, tampaknya membeli tas yang murah atau kualitasnya standar akan menjadi hal yang keliru, karena namanya juga artis, pablik figur, jadi barang-barangnya umumnya harus bagus atau harus mahal. Ketika kita sama-sama pernah setara maka kita hidup dalam tuntutan kesetaraan itu. Ketika salah satunya tiba-tiba naik level, maka yang dibawah tiba-tiba merasa bahwa kebahagiaan yang diatas lebih banyak, karena levelnya sudah tinggi. Padahal, dilevel yang tinggipun, kita juga dituntut supaya bisa setara di level tersebut. Ah... membingungkan sekali masalah setara menyetarakan ini.

Inilah yang mungkin dikatakan kalau kita selalu fokus pada apa yang dimiliki orang lain tapi kurang menyadari akan berbagai kecukupan yang telah diberikan kepada kita. Atau malah, kita tidak memaksimalkan penggunaan apa-apa yang sudah kita miliki. Kita selalu memutuskan untuk bersahabat dengan lupa dan bermusuhan dengan syukur.

Percaya bahwa tiap-tiap kita sudah ditentukan bagiannya masing-masing adalah prinsip yang sebenarnya kalau kita pegang teguh akan membuat kita senantiasa bersyukur dan merasa cukup. Sepanjang kita sudah berikhtiar dan berdoa, maka yang kita lakukan hanyalah tinggal tawakkal. Bagian kita tidak akan tertukar karena yang mengatur adalah yang menciptakan kita, bukan rekan kita yang mungkin selalu kita curigai. Kekeliuran kita adalah, karena kita menggunakan standar adil dari makhlukNya, dan kita gunakan juga kepada yang menciptakan kita.

Orang yang berada diatas akan selalu tampil menarik dan menggoda, sebaliknya yang dibawah selalu jarang menarik perhatian kita dan membuat hati kita tergerak. Jika kita tidak tergerak dengan melihat berbagai kekurangan orang lain atau tidak merasa kasihan dengan orang-orang yang kurang beruntung maka ini sungguh bahaya sekali, karena berarti hati kita sudah mengeras—ada yang salah dengannya.

Saya dan kamu beda, maka kebahagiaan kita juga beda. Kita kebanyakan lupa bahwa kebahagiaan adalah hak bagi tiap-tiap kita. Dengan membandingkan, maka berarti kita telah memutuskan untuk lupa. Selalu saja ini berakibat dengan rasa mengasihani diri yang membuat kita seolah-olah selalu tidak beruntung, selalu tidak beruntung. Dan ini tentu saja membuat kita seolah-olah kebahagian orang lain bagiannya sangat besar dan bagian kita hanya secuil dari punya mereka. Kita memutuskan lupa bahwa dengan usaha yang keras dalam usaha-usaha yang baik kemudian berserah diri adalah proses yang baik. Kita memutuskan lupa bahwa semua sudah ditulis dalam kitab bahwa kalaupun gunung-gunung dijadikan emas, itu semua tidak akan pernah memuaskan hasrat manusia. Karena tampaknya kita selalu merasa nyaman hidup dalam pendapat orang lain menurut standar orang lain dan lupa akan ruang dihati yang sebenarnya bisa kita isi dengan kebahagiaan kalau kita memilih untuk bersahabat dengan syukur.

@memetolicious

Minggu, 20 Januari 2013

Religious Potluck

One of the prominent figures of Liberal Islam Network (JIL), Ulil Absar Abdalla in his tweet once said that people should be pickup in embracing their religion. This shows how liberalists feature their bungling mindset rather than their sagacity.

The freedom of religion that is blown from the liberalits inevitably has successfully been consumed by the public because of massive propaganda, disseminated mainly through mainstream media in Indonesia. This freedom of course yield multi-interpretation as it does not demarcate any scope of which area we are considered to be free and which area are not in manufacturing any new concepts of religion. When one religious sect appear and be embraced by particular group, liberalists tend to justify their existence no matter how scholars of one religion have firmly said if that religious sect is a blasphemy.

Ironically, many liberalists in religion are too cowardly to be the true liberalists. Ok, we know if liberalists always have an issue in term of making definition. To make the definition of “true liberalists” clear (and to make it clear if I am not a liberalist), then we can say if the true liberalists are those who completely allow people to do their beliefs or their rituals as they want. This is based on the definition of liberal itself: allowing changes, not exact, and so forth. While they labeled themselves as liberalists, they somehow push aside the basic principle of liberal. Liberalists also embrace certain values and react if other particular groups perform their faiths. Thus, liberal in nature as what they demonstrate is also stick with particular values or views which definitely betray their beliefs. If liberalists tolerate every changes and appreciate whatever people do, so they also must do the same thing to all groups justly without discriminating the groups in which they think conflict with their ideas. In brief, liberal is an ideology full with delimitations.

In in Indonesia, we can see the peculiarities of liberalists’ thought through social media twitter. In many occasions, many liberalists who involved in JIL publicly dare to mock and play with the teachings of ulama Ahlussunnah. What they do essentially reflect the ways of which how most western people view their religion; deify their reasoning, question almost all existing teachings and principles, believe if everything should change and rely too much on their capabilities. It has become a public consumption if the activists of JIL once questioning about the finalization of of the Prophet Muhammad (PBUH), likening kissing between non-muhrim man and woman as an alms, supporting LGBT, promoting muslim and non-muslim marriage and many other ignorant statements.

If Ulil advocated people to perform religious potluck in his twitter, accordingly, he violated one of the fundamental things of liberalism—respecting the right of others. If liberalists do not mind and even support the existence of particular religion harraser in the name of freedom of expression or human rights or freedom of speech or the like, so it won’t really make sense if they instigate people not to be devout in practicing the teachings of their religion. For what reason they accept one idea and reject others if their basis—as what they always exaggerate—is upholding invidual freedom. What is wrong of being obedient? being devout? or being pious? It is obvious if they will confront those who are not compatible with their beliefs. Making clear if their liberal ideology is not manifested within their practice as well as their theoretical concepts.

Allah Azza wa Jalla has explained ushul (roots of jurisprudence) and furu’ (branches of jurisprudence) in Islam. Islam has rules of etiquette and an ethical code involving every aspect of life. Muslims refer to Adab as good manners, courtesy, respect, and appropriateness, covering acts such as entering or exiting a washroom, posture when sitting, and cleansing oneself and so on so forth. Islam has also rules in Akhlaq, referring to the practice of virtue, morality and manners in Islamic theology and falsafah (philosophy). Therefore, there is nothing that humans need—impinging the life in the world and hereafter, but has been explained explicitly and implicitly in Quran. If one questions: “is there any explanation about performing shalah 5 times a day in Quran?” the answer is, Allah Azza wa Jalla has explained in Alquran if we must follow all teachings of the Prophet Muhammad (PBUH) both his statements as well as his modelings [An-Nisaa’: 80]. We must take everything the Prophet (PBUH) has offered, and leave everything He has forbidden [Al-Hasyr: 7]. So it is clear if Sunnah from the Prophet (PBUH) have been shown by the Quran, because Sunnah belongs to the revelations, taught to the Prophet (PBUH) from Allah Azza wa Jalla [Hadist Narrated by Abu Dawud]. Islam is perfect, no more increments as wells as decrements, Muslims are obligated to follow [Al-Maa-Idah: 3].

The isolation between religion and mundane matters are not necessarily proposed by anyone include Ulil, because Muslims have never had traumatic experiences in their religions. Muslims now are being seduced to leave their religion from many parties and it comes from many angles. Muslims have no history as regards tortures in religion unlike any other religion. The idea of liberalism, pluralism and secularism which are not originated from Islam are forced inserted to the teachings of Islam.

A devout Muslim is considered to be extremist, stick-in-the-mud, stodgy, conservative or whatsoever you name it. These beliefs are propagated through giant mass media. The liberal or progressive people, who are not pious, are pictured like sweet candies. The popular incitement is we are no longer live in the past so we need to move on. Use your religion, but not being too much. This concept of religious potluck is not obviously in line with the teaching of Islam. Islam has regulated everything so every Muslim should take it as a whole, not merely take the pieces of what he likes. No overdose in islam, and now it is the time to be proud as a Muslim.

Wallahu a’lam Bishshawab.
@memetolicious

Minggu, 06 Januari 2013

Share The Gravy of Your Soup to Your Neighbor


Once I had a Pre Departure Orientation (PDO) for the English short course scholarship in the USA in 2009. One of the speakers was Mr.Agoes, the husband of the director of the foundation which provided the scholarship. One of his statements that I noticed in my mind up to now is when he said: many people in developed countries now are advanced in almost all apects of life. From education, technology, entertainment and so forth. But they miss one aspect, the collectivism. That statement suddenly alarmed the memory of my family. I was in a sudden remembered my mother.

I grew up in a humble family. I could study, all my siblings could study, but none of us lived in opulence. My father is only an ordinary civil servant who made money less than 2 millions in a month. In Indonesia, It was really hard to bear 8 childern with that sum of money. Therefore, we used to have a stall to support our financial condition. Every child has his/her own job. I did not play much with the children in my neighborhood because I and my other siblings had to help my mother.

Inspite of living in such condition, my mother always taught us to be thankful and also to be openhanded. I really remember when one time in a fasting month (the month when all moslems fast for the entire month in Ramadhan), my mother made a traditional food called ‘kolak’. It’s made from steamed banana with sugar palm gravy. We would eat that as a break fast meal. She only made it in a medium pan and I thought if it was enough for us. Taking into account if many of us were fasting at the time, I never thought if my mother would share that kolak to our neighbors. I saw her put the kolak into two bowls and she asked me to bring them. I saw if my mother put much gravy into those bowls, but not much banana in there.

At first, I said in my mind if my mother was not necessary to give it to my neighbors because we did not make much of it. Moreover, I thought that my mother just gave them 2 bowls of kolak gravy instead of kolak itself. But next I realized if the core point of it is all about ‘giving’. My mother did not try to satisfy them, but my mother tried to share her joyness no matter how little she could share. Then a beautiful proverb resounded in my mind: giving gifts to the people who you know will erase spite among you.

Nowadays, people are like living in their own lives. The life is mine. Not yours, not his, not theirs and not ours. That we are connected each other, is the important principle in this life. Since what we have gained would be impossible without the involvement of others, we should have realized that we need to live together. I crave a future where someone will share even only the gravy of his soup to his neighbors. I believe if poor people have a bit rights from our wealthy. Let us imagine a world where every neighbor pass out a bit of what they have, to other neighbors. There will be no hunger and war. There will be no resentment and envy. People will no longer make any prejudice with other believers, other races and other tribes, that are different from them.

I am afraid that all sophisticated stuff today has been dehumanizing the society of the world. Education apparently can not satisfy morality in one of the cavities in the human’s heart. People are probably going too far for searching happiness and do not realize if they can make a start from the nearest place namely ‘neighbor.’ Better future of the world is not far from us.

Having seen my mother’s sincerity to share what she has to the others, I decided to do my own. I started to create a better future by giving out all that I can share to the people in my surroundings. I become a regular donor in one orphanage in my vicinity. On the other occasion, I always become a speaker regarding my experince living in USA with university students and guide them in pursuing any scholarships as well. For I am an English teacher, I always give an extra time to my students to improve their skills in English freely. Currently, I also become one of the volunteers for vision impaired people in one foundation in my city. I has to pass out this remarkable value that has been modelled by my mother. If one day I have nothing left, I do not mind to only share the gravy of my last soup.

muhalim/@memetolicious