Rabu, 22 September 2010

Dunia Hanyalah Tempat Bermain dan Senda Gurau


Saya sebegitu tertarik dengan ayat Al-Quran yang redaksinya seperti ini: “dunia hanyalah tempat bermain dan senda gurau”. Awalnya, saya membaca catatan teman saya M.a.Maulim Ni’am di note account facebook-nya. Catatannya secara umum menggambarkan tentang ‘kebohongan’ yang merupakan tanggapan dari catatan temannya yang juga bertemakan tentang kebohongan. Bagian paling menarik yang sempat saya berikan perhatian adalah tentang kebohongan yang salah satunya dijabarkan dengan pernyataan bahwa kalau manusia selalu berwajah multidimensi, tergantung keadaan yang dihadapinya. Sebagai contoh, seorang ibu yang berprofesi sebagai guru akan memerankan peranan dengan wajah yang berbeda ketika berada di sekolah dan dirumah. Begitupun akan sangat berbeda ketika ia berada di tempat arisan atau atau berada di tempat ibadah. Berdasarkan kesimpulan saya, tulisan Ni’am mengatakan kalau berubah kondisi, maka topeng yang dipakai akan berbeda pula.

Tak lama setelah membaca note teman saya itu, tiba-tiba datang dua pesan singkat pada malam harinya dari teman yang berbeda. Entah mengapa secara kebetulan, pesan mereka bercerita tentang permainan dan senda gurau dengan kaitannya dengan hidup. Yang satu berpesan kalau hidup di dunia adalah senda gurau yang kekal adalah negeri akhirat, sedangkan pesan yang kedua bertutur bahwa jikalau hidup hanya bermain, maka kita boleh bermain sepanjang hidup kita. Jikalau hidup hanya sebatas senda gurau, maka kita boleh bercanda selama hidup kita. Tapi sayangnya hidup banyak warna, ada kalanya sedih dan susah. Kemudian pada akhir kalimat pesan kedua itu berbunyi “kemanakah kaki akan melangkah pulang?” karena kita hanya akan pergi kesatu negeri yang memiliki dua tempat tujuan; surga atau neraka.

Bermain

Kalau dunia adalah tempat bermain, berarti pemainnya itu sendiri adalah semua makhluk yang menghidupi bumi. Manusia sebagai pemimpin di bumi yang lebih dipercayakan oleh tuhan dibandingkan makhluk-makhluk lainnya adalah pemain paling handal. Kita cenderung bermain sesuai dengan penempatan peran yang semakin jelas seiring dengan perjalanan waktu usia manusia. Manusiapun sebagai pengendali dimana dunia dititipkan baginyaselalu bermain monolog dan lebih cenderung bermain dialog. Tapi porsinya asimetris, karena kecenderungan manusia memang yang tidak dapat hidup tanpa orang lain sehingga lebih menyukai dialog. Ketika berdialog dengan makhluk lain, maka seorang manusia yang berinteraksi dengan suatu entitas biasanya bermain adil, tetapi banyak pihak juga yang ingin mempermainkan lawan interaksinya. Ambilah contoh prinsip demokrasi yang sebenarnya lebih mengarah ke suatu fatamorgana, alih-alih sebagai sesuatu yang benar-benar bisa tercapai: from the people, by the people and for the people. Yang terjadi adalah sesungguhnya pengharapan akan target ‘keadilan’. Tetapi faktanya, dimana saja demokrasi berkembang, dalam dimensi apapun, selalu terjadi subordinasi demi mempermainkan pihak lain. Hal ini disebabkan karena memang kecenderungan orang kuat untuk mempermainkan entitas yang lemah, siapa kuat dia berkuasa. Kekuatan memang mempunyai seribu wajah. Kekuatan umumnya konflik dengan prinsip keadilan, seperti ungkapan ‘power tends to corrupt’. Akan selalu terjadi korupsi terhadap hak-hak orang/makhluk lain.

Bagaimanapun, permainan adil tetap saja bisa ditemukan, namun sulit. Pemenuhan keadilan akan dapat tercapai jika kedua belah pihak digenapkan hak-haknya. Sebagai contoh zakat mal. Telah disebutkan dalam ajaran agama Islam kalau sesungguhnya setiap jumlah harta yang telah ditentukan takarannya seharunya dizakatkan sebanyak 2,5 persen. Sehingga kaum papa, terlantar, termarginalkan sebenarnya bisa diperbaiki kualitas hidupnya , utamanya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Ajaran agama manapun sebenarnya juga banyak menekankan perhatian terhadap kepedulain sosial. Tapi tampaknya, Islam-lah memang yang paling strict dan memberikan aturan-aturan yang jelas dalam pengejawantahannya. Ini baru satu contoh. Wajah keadilan dalam permainan sebenarnya sangat beragam. Seperti keadilan untuk mendapatkan informasi tanpa distorsi karena pihak internal tertentu seperti korporasi, lembaga atau oknum ; keadilan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas; keadilan untuk berekspresi yang harus berada dalam kerangka sosial-keagamaan; keadilan ekonomi mikro dan masih banyak lagi. Seyogyanya indiskriminasi terhadap sesama pemain harus dijunjung tinggi. Sehingga kedua pelaku benar-benar menjadi pemain aktif, bukan salah satunya menjadi objek.

Kecenderungan monolog , seperti namanya hanya memiliki pemain tunggal. Pemainnya itu sendiri. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya tentang interpretasi Ni’am akan permainan, sesungguhnya multidimensionalisme seseorang adalah salah satu contohnya. Kita akan selalu mengenakan topeng yang berbeda-beda bergantung suasananya. Karena ketika seseorang tidak mengganti cover mereka, maka biasanya akan berujung kepada intoleransi. Tapi bukan berarti bahwa cover tidak substantif. Sesungguhnya tidak. Kemasan yang disesuaikan keadaan akan sangat mempengaruhi performa. Seorang yang berpakaian seragam polisi akan menjaga kewibawaan suara dan perilakunya. Ketika berada dirumah bersama istrinya, maka dia bertindak selayaknya suami yang bebas berkeluh kesah kepada istrinya. Tetapi ketika bertemu dengan teman korpsnya, maka dia menjadi sosok yang tangguh lagi, seolah-olah tak pernah memiliki beban. Ini namanya bukan hipokrasi, tapi ini namanya tuntutan. Switching yang terjadi secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama pun sesungguhnya akan membentuk karakter. Jadi sekali lagi, perubahan topeng itu tidak mendekati hipokrasi, tapi lebih kepada keperluan. Ketika seseorang memohon doa kepada tuhannya, sebenarnya merupakan salah satu dari bentuk monolog.

Senda Gurau

Apa yang sesungguhnya diperoleh dari kelakar? Senda gurau? Jawabannya adalah penghiburan diri. Ketika hidup seorang manusia memang hanya berfokus pada dunia, maka sesungguhnya dia hanya akan memperoleh penghiburan diri. Tak pernahkah anda mendengar orang yang berkata “wah, perasaan dia dulu cuma sebesar ini, tapi sekarang dia sudah besar sekali”. Waktu hidup di dunia benar-benar terasa sekejap mata, selalu mempermainkan manusia. Belasan, puluhan tahun tak ubahnya serasa hari kemarin yang baru saja terjadi. Siapa yang mempermainkan siapa dalam hal ini? Tidak ada. Semuanya adalah karena hidup memang mengalir begitu saja dan semua kejadian yang terjadi sifatnya hanya sementara dan diterima dengan sense manusia yang juga sementara. Sudah menjadi ketentuan bahwa tidak ada yang abadi, termasuk juga sistem penerimaan kita terhadap penderitaan, kebahagiaan, kemiskinan & kekayaan. Karena kita telah dijanjikan kalau segala yang kekal itu urusannya ada di ukhrawi. Nikmatnya hubungan suami istri hanya sekejap saja. Tapi di akhirat manusia dijanjikan hubungan suami istri yang tidak ada istilah ‘lelah ’ di dalamnya. Yang ada di dunia hanyalah penghiburan diri. Yang ada di akhirat adalah kebahagiaan yang puncak.

Sebagai contoh kalau sistem penerimaan kita terhadap sesuatu sifatnya sementara bisa digambarkan dengan orang yang sangat excited sekali ketika mengetahui kalau dirinya akan pergi ke Big Apple, New York City. Perasaanya sungguh sangat menggebu-gebu sekali dan selalu membayangkan pengalaman apa nantinya yang ia akan rasakan sesampainya disana. Tetapi begitu orang tersebut tiba di sana, di NYC, kemudian dia berkata kepada dirinya sendiri “ok, ini NYC, kota yang modern, multikultur, ramai dan rapih, seperti yang saya biasa liat di media-media. Terus apa lagi?”. Cukup, mungkin itu kata yang paling bagus untuk mewakili. Memang biasanya kita selalu memberikan pilihan jika ditanya tentang tempat yang paling impresif yang pernah kita kunjungi. Itu disebabkan karena memang keadaan tempat yang kita pilih itu lebih baik daripada keadaan tempat-tempat yang lainnya. Tapi coba tebak, hanya itu saja. Ketika kita berada di tempat yang dimaksud, sistem penerimaan kita sama saja, “terus apa lagi?”. Hal ini berlaku pula pada popularitas. Setiap orang yang memang pada dasarnya suka diperhatikan oleh orang lain tidak semuanya bisa mencapai popularitas, dengan menjadi selebriti misalnya. Orang yang biasa-biasa saja tanpa popularitas selalu berpikir kalau orang yang populer itu sungguh benar-benar beruntung, di puja dan di puji. Tapi sesungguhnya popularitas hanya sebatas pada popularitas saja, tidak lebih. Banyak orang yang mengelu-elukan selebriti, terus kenapa? Terus apa lagi? Apalagi dampak yang paling banyak didapatkan selain uang? Ketika seseorang benar-benar populer sebenarnya ia juga akan berkata kepada dirinya, “terus apa lagi?”. Lelucon.

Bagaimana menempatkan kesedihan dalam senda gurau ini di dunia? Seperti semua hal yang tidak pernah kekal, maka kesedihan juga sifatnya tidak kekal. Manusia juga seringkali tersenyum dan banyak kali tertawa. Pasti terjadi perubahan, manusia akan melunturkan ingatan-ingatan di masa lalu entah cepat atau lambat. Dan yang terjadi adalah sedih-bahagia-sedih-datar-monoton-sedih-sedih-bahagia-bahagia-monoton-monoton-bahagia-bahagia, dan seterusnya tanpa pola yang pasti. Jika kita bisa melihatnya sebagai sesuatu kesatuan yang sesungguhnya telah ditetapkan jauh sebelum manusia lahir, maka kita pasti akan mendapatinya kalau sebenarnya semua itu hanyalah kelakar, sebuah senda gurau. Beda dengan hal yang sifatnya abadi. Karena sekali sedih, maka akan sedih selamanya. Sekali bahagia, akan bahagia selamanya.

Hidup di dunia tampaknya memang hanya tempat bermain dan senda gurau. Para pemainnya adalah kita dan yang bersenda gurau juga adalah kita. Sebaiknya setiap dari kita menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk menuju ke tempat yang kekal, tidak bermain terus dan tidak berkelakar terus. Semoga tulisan ini tidak dianggap sebagai permainan & lelucon belaka . Selamat menjadi orang serius dengan memperhatikan hal-hal yang akan membawa pada keabadian. 

QS Al An'aam (6) : 32
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka[468]. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.

*Terimakasih buat note M.a. Maulim Ni’am yang inspiratif, dan SMS dari M. Maknun & Sri Wahyuningrum yang membuatku bertanya dan menganalisa. Ini adalah tulisan yang tertunda.

memetolicious.blogspot.com
Makassar, 21 September 2010

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jika hidup adalah permainan, aku tidak akan main-main dalam memainkan permainan ini.

baji'baji' ji!