Selasa, 11 Mei 2010

Masih Mencari Arti Kata ini: Kebahagiaan


Saat selesai solat di Musholla Graha Pena, seorang bapak yang baru saja mengambil air wudhu berujar kepada temannya dengan temannya "itulah konsekuensi hidup pak, bekerja dan beribadah".

Sampai di lift yang membawa saya di lantai tempat saya bekerja, saya masih terus berpikir tentang ucapan bapak tadi. Yang pertama yang saya pikirkan adalah satu: urutan pelafalan kalimatnya, bekerja kemudian disusul dengan beribadah. Dua: arti kata konsekuensi.

Rasanya tidak adil menilai prioritas dari ucapan yang spontan. Tapi saya pribadi percaya kalau alam bawah sadar, sebuah built in computer di otak kita tidak pernah tidak benar ketika mengeksekusi sesuatu. Ucapan yang spontan atau ekspresi bisa dikatakan lebih jujur dalam mencerminkan kepribadian seseorang. Premis saya untuk sementara adalah: pekerjaan kini menjadi prioritas paling pertama dalam hidup bagi mereka yang telah memiliki keluarga atau bagi yang telah menamatkan sekolahnya. Karena tidak ada pekerjaan berarti tidak ada uang. Tidak ada uang berarti tidak bisa hidup. Hampir semua berbicara tentang kalkulasi, hampir semua berbicara tentang nominal.

Saya kemudian melakukan refleksi. Jawaban yang muncul tiba-tiba adalah,” ya”, saya juga manusia yang hanya berbicara tentang nominal. Alasan yang mendasar adalah, saya (kita) tidak dapat bahagia tanpa uang, karena tanpa uang akan mustahil memperoleh kebahagiaan (sambil berpikir kalau saya tidak boleh menjadi seorang yang naïf). Saya rasa itu benar, saya sendiri berdamai dengan diri saya akan hal itu. Tapi yang jadi masalah adalah saya tidak memberi limit. Setelah mendapatkan uang 100 perak, saya maunya 500 perak. Setelah 500 perak, saya maunya mendapatkan 1500 perak, begitu seterusnya tanpa henti. Seperti vicious circle. Saya dan anda selalu bekerja dan untuk sementara merasa berada di zona nyaman dengan upah yang diperoleh. Tetapi setelah berjalan selang waktu, diri kemudian merasa tidak cukup lagi. Solusi yang umum adalah mencari pekerjaan lain, atau tetap di pekerjaan itu dengan berusaha meningkatkan upah sebanyak mungkin.

Tiap pribadi mempunyai target masing-masing, dan kadang-kadang target itu menjadi standar kebahagiaan kita. Pertanyaannya adalah: haruskah kita memandang dunia ini secara sempit dan bergaul dengan sesedikit mungkin orang atau sebaliknya. Karena seseorang yang banyak melihat orang lain dan memandang dunia secara luas kadang-kadang menaikkan standar hidupnya dan tidak nyaman dengan zona dirinya yang sekarang. Akibat logisnya adalah menaikkan standar diri untuk hasil yang lebih tinggi atau menetapkan standar diri yang sama tetapi melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Bagi pribadi yang memiliki dunia yang sempit dan bergaul dengan sedikit orang, umumnya merasa sudah “cukup”. Cukup yang diakibatkan oleh dua kemungkinan. Pertama, karena dia tidak melihat dunia yang terhampar begitu luas, kedua, karena dirinya memang telah memperoleh kebijaksanaan dalam melihat hidup.

Opsi yang kedua sebenarnya juga dapat diperoleh bagi seseorang yang melihat dunia secara luas, bahkan kadang-kadang kebijaksanaanya lebih hebat. Menyumbangkan sebagian besar harta untuk filantropi, hidup sederhana dan mensejahterakan orang lain, menjadi pribadi sederhana diantara kalangan para sosialita, bahkan sampai memfokuskan hampir semua dirinya untuk urusan agama. Kalau begitu, kunci untuk memperoleh kebahagiaan bukan terletak pada uang ternyata. Kalau kita telah menetapkan limit sedemikian rupa dengan berusaha berlandaskan dengan ketimpangan sosial yang ada, kemudian bisa menciptakan kebahagian murni dari dalam diri tanpa terpengaruh dengan tendensi-tendensi materi, maka kebahagiaan adalah benar-benar menjadi milik kita. Mudah memang mengatakannya. Tapi saya rasa itulah tugas kita disini. Memahami hidup untuk memperoleh kebahagiaan.

Premis kedua adalah: bekerja dan beribadah adalah merupakan konsekuensi. Ini masalah sudut pandang, tidak ada yang salah dan benar. Tetapi bagi seorang Islam, ibadah dan bekerja adalah kewajiban kita, bukan akibat dari eksistensi kita. Kalau kita berkata bahwa Tuhan maha sombong karena menyuruh kita menyembah padanya maka itu betul, karena jubah kesombongan hanyalah milik Dia. Tidak usah dipertanyakan mengapa kehadiran kita adalah untuk beribadah, hal yang sejalan dengan Tuhan yang tak pernah menghitung-hitung nikmatnya kepada hambanya. Lagipula kita sepakat kalau hidup manusia disertai dengan kesusahan-kesusahan. Tapi kesusahan itu pasti ada imbalannya. Kesusahan usaha kita di dunia untuk bekerja berbuah pada harta di dunia. Kesusahan untuk beribadah berimbas pada dunia dan hari yang kekal. Jadi mau pilih yang mana: dunia saja atau dunia dan hidup nanti yang kekal?

Fit of survival. Begitulah kurang lebih. Tapi jangan menggiring paham ini kepaham Darwinisme. Kita akan memperoleh imbalan dengan usaha-usaha yang pantas. Maka pantaskanlah diri kita. Kadang-kadang terlalu banyak mau dan bertanya dengan otak yang terbatas tidak memberikan kebahagiaan dan jawaban sama sekali.

Makassar May 12, 2010, saat langit siang masih cerah..

Tidak ada komentar: