Minggu, 03 Februari 2013

Bersahabat Dengan Lupa dan Bermusuhan Dengan Syukur


Liburan kuliah semester satu saya kemarin kuhabiskan di Balikpapan. Alasan memilih kota ini adalah karena dorongan dari orang-orang yang saya kenal yang sudah pernah kesana. Saya mengenal beberapa teman yang pernah dan sedang bekerja disana, dan saya juga memiliki beberapa keluarga yang sudah menetap disana. Disamping itu, karena impian saya untuk menjelajahi kota-kota di Indonesia, dan berhubung saya juga belum pernah ke pulau Kalimantan, maka saya memutuskan pergi Balikpapan.

Disana saya tinggal dirumah kontrakan teman saya dan juga beberapa hari di rumah keluarga saya. Teman saya ini seorang lulusan S1, pegawai tetap PLN disana. Sebut saja namanya Madi. Dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang dia miliki di awal tugasnya dia telah mendapatkan posisi sekertaris manager dan sering menangani proyek-proyek. Sudah menjadi rahasia umum kalau PLN merupakan BUMN yang karyawannya memiliki gaji yang cukup lumayan untuk standar gaji orang Indonesia. Madi punya gaji pokok 4,2 juta perbulan. Jika ditambah dengan proyek-proyek yang dia tangani dengan honor Surat perjalanan Dinas (SPD), maka dia bisa mencapai angka ±10 juta untuk gajinya selama sebulan. Gaji sebulan yang menurut saya cukup banyak untuk standar lulusan S1, apalagi status dia yang belum berkeluarga. Ketika dia menjemputku dibandara dan mentraktir makan 2 piring nasi goreng plus 2 gelas jus, dia harus merogoh kocek sebanyak 115 ribu rupiah dengan entengnya. Biaya yang saya bisa gunakan untuk makan selama 8-9 hari hidup di Malang.

Saya sendiri sedang mengenyam pendidikan S2 Pendidikan Bahasa Inggris, seseorang yang insyaAllah akan menjadi guru atau dosen Bahasa Inggris. Sejak kuliah S1, saya sudah memutuskan untuk menjadi seorang akademisi. Dengan tugas utama sebagai seorang pendidik, kita tahu bersama bahwa gaji pokok seorang dosen PNS baru di Indonesia yaitu 1,8 juta rupiah. Gaji akan naik secara berkala setiap 2 tahun. Pangkat akan naik tiap 4 tahun dan gaji ikut naik. Kalau sudah memiliki jabatan edikatif dia akan ada tambahan tunjangan dosen, tunjangan transport, dll. Kalau sudah 3-4 tahun bekerja, pendapatan kurang lebih Rp. 3 juta. Berapa gaji pokok seorang dosen dengan gelar Ph.D golongan IIIB di Indonesia? 2,7 juta!!

Sekarang kita coba kembali lagi ke teman yang saya tadi. Sewaktu saya bersama Madi, dia sempat mengerjakan proyek selama 4 hari. Dengan proyek itu, dia mendapatkan honor untuk SPD sebanak 1,6 juta. Sewaktu saya mendengarnya, saya langsung berkomentar kalau itu hampir setara dengan gaji sebulan seorang dosen PNS baru. Sebulan berbanding 4 hari, sebuah perbandingan yang terdengar ironis ditelingaku. Seharusnya dengan gaji yang seperti itu ‘pasti’ Madi biasa bahagia, jika parameter kebahagiaan memang dengan uang. Tapi ternyata tidak.

Pada awalanya ini mungkin akan terdengar terkesan membanding-bandingkan. Membanding-bandingkan gaji, membanding-bandingkan rejeki. Tapi ini sesungguhnya bukan inti dari tulisan ini.

Ternyata apa yang saya temui sama saja. Cuma dia mengambil bentuk dan tempat yang berbeda. Dengan gaji sekian sekian dengan status yang masih bebas, keluhan demi keluhan, kejenuhan demi kejenuhan ternyata juga datang silih berganti. Madi yang saya anggap agamanya cukup bagus berkeluh kalau terlibat dalam proyek-proyek itu riskan dari sisi tanggung jawab secara moral dan agama, karena banyaknya ‘permainan’ dari berbagai pihak. Beberapa kali dia juga bercerita kalau atmosfir kerjanya tidak cukup sehat, sikut sana sikut sini. Pada suatu kesempatan yang lain dia juga mengatakan kalau sebenarnya dia tidak cocok menjadi orang lapangan, menjadi pengawas dan bertanggung jawab akan ketuntasan suatu proyek. Bahkan dia sempat mengatakan kalau saat itu dia sedang berusaha mencari cara untuk ditempatkan di wilayah, di kampungnya sendiri, di kota Makassar. Katanya tak mengapa gaji lebih sedikit, yang penting dia bisa ‘aman’.

Madi ini bukan berarti tak pandai bersyukur. Kondisi-kondisi diatas adalah kondisi yang niscaya ada dalam hidup dimanapun kita berada. Dengan segala yang dimiliki maka belum tentu kita akan terhindar dari masalah-masalah, keluhan-keluhan atau kesedihan hati.

Oh iya, ada satu hal lagi yang saya belum ceritakan. Madi ternyata lebih mempunyai tabungan yang banyak ketika bekerja di salah satu perusahan kontraktor di Makassar dengan gaji dua jutaan. Dengan gajinya sekarang yang berkali-kali lipat dari gaji sebelumnya, ternyata tidak membuatnya bisa lebih berinvestasi untuk masa depannya. Pola hidup dan lingkungan akan sangat mempengaruhi pengeluaran-pengeluaran keseharian. Kadang, secara otomatis kita akan terpaksa atau mungkin dipaksa mengikuti situasi. Demikian pula Madi. Kita mungkin saja berimajinasi kalau kita jadi artis, pasti tabungan kita akan banyak, jadi kaya. Tapi kalau kita lihat, ternyata artis punya banyak sekali tuntutan yang harus dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang nampaknya harus dipenuhi agar bisa diterima dalam dunia keartisan. Sebelum jadi artis, membeli tas di pasar umum atau digerai yang banyak dikunjungi masyarakat biasa bisa saja menjadi hal yang jamak. Tetapi setelah menjadi artis, tampaknya membeli tas yang murah atau kualitasnya standar akan menjadi hal yang keliru, karena namanya juga artis, pablik figur, jadi barang-barangnya umumnya harus bagus atau harus mahal. Ketika kita sama-sama pernah setara maka kita hidup dalam tuntutan kesetaraan itu. Ketika salah satunya tiba-tiba naik level, maka yang dibawah tiba-tiba merasa bahwa kebahagiaan yang diatas lebih banyak, karena levelnya sudah tinggi. Padahal, dilevel yang tinggipun, kita juga dituntut supaya bisa setara di level tersebut. Ah... membingungkan sekali masalah setara menyetarakan ini.

Inilah yang mungkin dikatakan kalau kita selalu fokus pada apa yang dimiliki orang lain tapi kurang menyadari akan berbagai kecukupan yang telah diberikan kepada kita. Atau malah, kita tidak memaksimalkan penggunaan apa-apa yang sudah kita miliki. Kita selalu memutuskan untuk bersahabat dengan lupa dan bermusuhan dengan syukur.

Percaya bahwa tiap-tiap kita sudah ditentukan bagiannya masing-masing adalah prinsip yang sebenarnya kalau kita pegang teguh akan membuat kita senantiasa bersyukur dan merasa cukup. Sepanjang kita sudah berikhtiar dan berdoa, maka yang kita lakukan hanyalah tinggal tawakkal. Bagian kita tidak akan tertukar karena yang mengatur adalah yang menciptakan kita, bukan rekan kita yang mungkin selalu kita curigai. Kekeliuran kita adalah, karena kita menggunakan standar adil dari makhlukNya, dan kita gunakan juga kepada yang menciptakan kita.

Orang yang berada diatas akan selalu tampil menarik dan menggoda, sebaliknya yang dibawah selalu jarang menarik perhatian kita dan membuat hati kita tergerak. Jika kita tidak tergerak dengan melihat berbagai kekurangan orang lain atau tidak merasa kasihan dengan orang-orang yang kurang beruntung maka ini sungguh bahaya sekali, karena berarti hati kita sudah mengeras—ada yang salah dengannya.

Saya dan kamu beda, maka kebahagiaan kita juga beda. Kita kebanyakan lupa bahwa kebahagiaan adalah hak bagi tiap-tiap kita. Dengan membandingkan, maka berarti kita telah memutuskan untuk lupa. Selalu saja ini berakibat dengan rasa mengasihani diri yang membuat kita seolah-olah selalu tidak beruntung, selalu tidak beruntung. Dan ini tentu saja membuat kita seolah-olah kebahagian orang lain bagiannya sangat besar dan bagian kita hanya secuil dari punya mereka. Kita memutuskan lupa bahwa dengan usaha yang keras dalam usaha-usaha yang baik kemudian berserah diri adalah proses yang baik. Kita memutuskan lupa bahwa semua sudah ditulis dalam kitab bahwa kalaupun gunung-gunung dijadikan emas, itu semua tidak akan pernah memuaskan hasrat manusia. Karena tampaknya kita selalu merasa nyaman hidup dalam pendapat orang lain menurut standar orang lain dan lupa akan ruang dihati yang sebenarnya bisa kita isi dengan kebahagiaan kalau kita memilih untuk bersahabat dengan syukur.

@memetolicious