Kamis, 10 Juli 2008

APA YANG DIPEROLEH DARI BERITA KEMATIAN




Yang katanya sempurna karena akal budinya. Yang katanya sempurna karena sebaik-baik makhluk. Yang katanya (dan sebenarnya) bereksistensi karena diperintah untuk beribadah. Yang katanya selalu dualis, baik atau buruk.

Manusia. Alam ruh, dunia, alam kubur, alam barzah. Bagi yang sedang membaca ini, maka alam yang kedua adalah tempatnya. Tersusun secara rapi, takdir manusia memang tidak dapat diganggu gugat. Manusia ditempatkan di bumi. Bumi yang telah ditentukan baik buruknya. Bumi yang memediasi alam kedua maupun alam ketiga. Jika seseorang berpindah dari ranah kedua ke ranah ketiga, maka manusia yang lain bisa merasakannya. Manusia yang lain bisa merasa menang. Manusia yang lain bisa bersedu sedan. Manusia yang lain bisa menjerit histeris. Manusia yang lain bisa menjadi lebih arif. Manusia yang lain bisa lebih khusyuk dalam beribadah. Lebih paham dengan dosa dan amalannya. Lebih paham tentang takdir.

Semua akan menuju kesitu, karena hidup ini sentrifugal, bukan sentripetal. Hanya masalah waktu. Kita menabung usia kita pada celengan yang tidak elastis, tidak bisa ditawar-tawar dan ditambah volumenya. Dimana tiap anak manusia memiliki ukuran celengan sendiri-sendiri. Tapi kita terkadang lalai, selalu menabung, tanpa memperhatikan apa yang ditabungnya itu memang berharga sebagai modal yang akan dibawanya kelak, kurang, atau tidak sama sekali. Kita pada umumnya tidak sadar melihat apa yang kita tabung, dan berapa nominalnya dalam satu koin usia. Padahal ukuran celengan kita sendiri belum diketahui sama sekali. Karena celengan itu absurd.

Ketika kematian dekat dengan manusia, maka yang hadir adalah interpretasi beragam. Memang sudah ajalnya. Memang orang baik, jadi mati muda. Memang sudah tua. Memang orangnya yang cari mati. Memang orangnya yang tidak jaga kesehatan. Memang terlalu berbahaya jika orang itu masih hidup. Dan masih banyak memang memang yang lainnya. Ada saja pemikiran yang timbul. Ada saja hati nurani yang terketuk. Kematian menjadi pelajaran bagi sebagian yang lain. Karena hidup kadang mengaburkan pelajaran-pelajaran berharga yang seharusnya kita petik. Sedangkan kematian yang singkat bisa menjadi sangat berarti. Karena dia datang tanpa memperhatikan stratifikasi sosial, harta, waktu, kelompok, jumlah SKS yang telah diselesaikan, gelar, dosa, jenis kelamin, amalan, agama, dst dst. Kematian memberikan gambaran bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan kembali kepada pemiliknya, melalui jalan yang tidak diduga-duga.

Menjadi buruh adalah proses. Menjadi rektor adalah proses. Menjadi ulama adalah proses. Menjadi mati juga adalah proses. Semua makhluk hidup akan mati. Dia itu bukan kemandekan dan bukan tahap menuju reinkarnasi. Karena dia jembatan menuju kekekalan. Mengingat peristiwa kemarin, ketika dua hal yang kontras terjadi. Ketika teman saya yang dipanggil ke pangkuan-Nya, dan ketika saya menghadiri pesta pernikahan teman saya pada hari yang bersamaan. Almarhum meninggal menuju ke kehidupan yang baru. Kedua mempelai juga menuju ke kehidupan yang baru. Semuanya adalah proses. Bedanya, ketika kita mati, kita tidak dapat berbuat amal-amal kebajikan lagi karena celengan kita telah penuh. Tidak ada lagi cengkrama, Stukom, diskusi, shalat, makan siang, atau pergi ke Malioboro. Almarhum dimandikan dengan air tawar, tidak mandi sendiri di air asin pantai Kuta. Tidur di dalam tanah, bukan diatas tempat tidur kapal Labobar. Tidak pula bertiga tetapi sendiri. Tetapi dia menjadi pelajaran berharga bagi kami yang masih hidup. Hidup dalam rel yang belum pasti menuntun kearah mana.

Hidup dan mati. Yin dan Yang. Baik dan buruk. Hitam dan putih. Harum dan busuk. Benci dan sayang. Semua akan dialami. Kematian adalah proses. Kematian itu transformasi. Kematian itu pelajaran. Kematian itu anomali.

Kugambarkan lukisan itu di kanvas yang tak bertuan, ya, karena saya melakukannya pada semua orang
Kulukiskan ruang waktu ini dalam bentuk yang absurd, dalam bentuk yang relatif
Adakah kematian dapat ditawar atau ditunda. Adakah kemungkinan saya hidup seribu tahun lagi.
Ataukah benar bahwa hidup ini hanya bagaikan kedipan mata.
Melalui belati ini banyak yang menggunakannya karena sudah muak.
Melalui samurai ini akan dilakukan hara-kiri demi kehormatan
Tetapi saya memilih untuk tinggal. Tinggal dan mengingat. Tinggal dan beribadah.
(teruntuk teman/sahabat yang telah menuju ke haribaan-Nya. Teruntuk satu tapi bermakna. Almarhum Ishak Umar)
Rabu 9 Juli, 2008

Tidak ada komentar: